Sudah 48 Tewas di Perang India vs Pakistan

Pontianak, PBSN – Setelah menikmati sinetron dalam negeri, mulai ijazah Jokowi, Mega vs Netizen, nikahan Luna Maya, sekarang kita ke luar negeri lagi. Perang India vs Pakistan. Apa update terakhir perang negara serumpun itu? Siapkan kopinya, wak.

Sampai hari ini, setidaknya 48 jiwa melayang. Warga sipil di Jammu, India, dan Kashmir, Pakistan, menjadi korban dari ‘drama langit’ yang tak mereka pesan. Ratusan lainnya terluka, bukan oleh kata-kata tajam dari pidato politik, tapi oleh serpihan baja dan debu reruntuhan. Mereka menjadi statistik tragis dari konflik yang selalu dijual dengan jargon mulia, kedaulatan, keamanan nasional, dan tentu saja, tanda kutip besar “perdamaian yang terpaksa dibela dengan senjata.”

Di sisi India, pangkalan udara Pathankot dan Udhampur dilumat oleh rudal Pakistan. Tidak seperti iklan properti yang menjanjikan ‘udara segar dan tenang’, kedua tempat itu kini lebih mirip neraka dengan wifi. Sebagai balasannya, India mengirim ucapan ‘terima kasih’ berupa ledakan ke Pangkalan Udara Nur Khan, Mureed, dan Shorkot milik Pakistan. Belum cukup sampai di sana, malam-malam perbatasan kini dihiasi pemadaman listrik, sirene panjang-panjang, dan tentu saja, kecemasan massal yang tidak dijual di minimarket.

Sementara itu, Dewan Komando Nasional Pakistan (NCA) telah diaktifkan. Tidak, ini bukan sinyal bahwa mereka mau main film superhero, tapi bahwa mereka sedang memegang remote control paling mengerikan di planet ini, peluncur nuklir. Sebuah tombol kecil yang bisa membuat dunia kembali ke zaman batu, tanpa perlu asteroid atau Thanos. Amerika Serikat, G7, dan seluruh penjaga moralitas dunia pun langsung gigit jari. Mereka menyerukan ‘pengendalian maksimal’, sebuah frasa yang terdengar seperti nasihat orang tua kepada anak remaja yang pegang korek api di gudang bensin.

Donald Trump, entah kenapa masih presiden, menyatakan “keprihatinan mendalam.” Sebuah kalimat yang memiliki arti seluas samudra dan seakurat ramalan bintang. PBB lewat Antonio Guterres menawarkan diri sebagai mediator, walau semua tahu bahwa tawaran damai dari PBB kadang seperti sinyal internet di hutan Kalimantan, ada tapi tidak bisa diakses. China, sambil mengelus dagu dan menimbang kepentingannya, meminta agar kedua negara ‘menahan diri’ sambil tetap menolak segala bentuk terorisme. Rusia, seperti biasa, berdiri di tengah sambil bilang “ya udahlah,” tapi dalam bahasa yang lebih diplomatik.

Indonesia juga tidak tinggal diam. Ketua DPR Puan Maharani tampil di layar kaca, menyerukan agar PBB segera bertindak dan menawarkan diplomasi parlemen, karena kalau dunia mau damai, tentu solusinya bukan senjata, tapi rapat. Sangat Indonesia. Para tukang ngopi di Pontianak juga menyerukan damai. “Bagus diajak ngopi di Asiang, bisa damai tu India vs Pakistan tu.”

Di balik segala letupan dan diplomasi murahan, ini bukan cuma perang dua negara. Ini adalah epos kontemporer tentang ego, identitas, dan libido kekuasaan yang tak kunjung kenyang. Perang ini adalah puisi paling keras dari dunia yang sedang letih, letih dengan janji damai, letih dengan perjanjian yang dilanggar, letih dengan kata-kata yang akhirnya dikalahkan oleh tombol rudal dan algoritma target.

Di satu sisi, ini semua terdengar begitu epik, seperti kisah Mahabharata digital, dengan pemain utama bersenjata nuklir. Tapi jangan tertipu. Di balik semua kehebohan ini, ada tubuh-tubuh anak kecil yang tak sempat lari, ada ibu-ibu yang tak sempat menyelamatkan kompor, ada doa-doa yang tertelan ledakan. Tapi tentu saja, itu semua hanya latar belakang. Sebab di panggung utama, dunia sedang menunggu, siapa yang lebih dulu menekan tombol, dan siapa yang lebih dulu diliput CNN sambil terbakar.

Selamat datang di dunia 2025. Perangnya nyata, tapi kedamaiannya fiksi ilmiah.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *