Pontianak, PBSN – Tinggalkan sebentar debat ijazah Jokowi, asli apa palsu. Sekarang saya nak cerita, Lucy Guo, bukan Lisa yang nuntut test DNA, ya. Ini Lucy, bukan temannya si Budi. Wanita miliander yang membuat bujangan di sini kopong dengkulnya mau ngelamar. Kebetulan masih suasana Hari Kartini, bicara makhluk terkuat di bumi yang cukup bilang, “Pulang!” udah pada ngeper, cukup pas untuk didalami. Kopi liberika sudah siap untuk menghangatkan otak biar tambah encer.
Di suatu pagi cerah di Fremont, California, lahirlah seorang anak perempuan bernama Lucy Guo, 14 Oktober 1994. Lucy dibesarkan oleh orang tua imigran Tionghoa yang bekerja sebagai insinyur listrik. Mereka bukan miliarder. Bukan influencer. Tapi mereka menciptakan listrik, hal mendasar yang bikin kamu bisa charge HP sambil rebahan. Dan Lucy? Sejak bayi dia bukan belajar jalan, tapi belajar debugging.
Ketika teman-teman sebayanya masih berusaha mengeja kata ball, Lucy sudah menjinakkan barisan kode dan mengajarkan komputer untuk tidak nge-lag. Lalu dia kuliah di Carnegie Mellon University, jurusan ilmu komputer dan interaksi manusia-komputer. Bahasa manusianya, “bagaimana membuat robot jadi lebih manusiawi, sementara manusia makin robotik karena Instagram.”
Tapi di tengah kuliah, saat kebanyakan mahasiswa sibuk bikin mie instan jam 3 pagi sambil galau, Lucy justru keluar. Drop out. Seolah berkata pada dunia, “Aku tidak butuh ijazah untuk jadi dewa.” Kenapa? Karena dia dapat Thiel Fellowship. Isinya, duit 100 ribu dolar dan izin resmi untuk melawan sistem pendidikan konvensional sambil ketawa kecil. Itu seperti dapat cheat code di kehidupan nyata.
Lucy lalu magang di Facebook. Bukan buat scroll timeline mantan, tapi buat belajar dari dalam bagaimana caranya menguasai dunia. Lalu ia loncat ke Snapchat, dan Boom! jadi desainer perempuan pertama di sana. Bukan hanya hadir sebagai pemanis diversity, tapi benar-benar bikin fitur Snap Maps. Iya, fitur yang bikin kamu tahu si gebetan lagi nongkrong di mana tanpa perlu nanya dulu.
Setelah itu, ia singgah ke Quora, tempat orang bertanya, “Bagaimana caranya jadi sukses?” Lucy tak menjawab. Dia langsung demo dengan bikin Scale AI bareng Alexandr Wang pada 2016. Scale AI bukan perusahaan biasa. Ini adalah pabrik pelatihan otak buat robot. Lucy membuat sistem pelabelan data yang ngajarin AI cara berpikir. Dia bukan ngoding lagi. Dia menciptakan pemikiran. AI-nya AI. “Sampai di sini, paham ndak ente, wak?” Kalau belum paham, tambah kopinya.
Lanjut ya. Hasilnya? Pada 2025, Lucy Guo resmi jadi miliarder dengan kekayaan $1,25 miliar. Artinya, dia lebih kaya dari Taylor Swift ($1,1 miliar), Kylie Jenner ($1,2 miliar), dan hampir menyentuh Rihanna ($1,4 miliar). Bedanya? Lucy gak pernah nyanyi, gak pernah rilis lipstik, dan gak pernah pacaran sama Travis Scott. Dia cuma pakai otak, kopi, dan koneksi Wi-Fi. Otaknya benar-benar dipakai, wak.
Tapi tunggu. Dia tidak berhenti sebagai “Ratu Data” yang nyantai di singgasana miliaran dolar. Dia menciptakan Passes, platform untuk kreator dan donasi amal. Dia nyalain mode filantropi versi premium, bantu korban kebakaran, dukung gerakan sosial, dan bikin dunia sedikit lebih waras lewat teknologi.
Lucy Guo bukan sekadar inspirasi. Dia adalah peringatan keras bagi generasi rebahan. Bahwa dunia tidak menunggu siapa-siapa. Bahwa kamu bisa kalah dari seorang wanita yang keluar kuliah, coding dari subuh, dan bangun kerajaan digital sebelum umurmu cukup buat sewa mobil sendiri di Amerika.
Mau jadi seperti dia? Gampang. Cuma perlu otak jenius, keberanian nekat, etos kerja robot, dan sedikit trauma masa kecil tentang sistem pendidikan. Lucy Guo telah membuktikan bahwa ente bisa mengalahkan bintang pop, ratu kosmetik, dan sistem dunia, cukup dengan ide brilian, satu laptop, dan semangat yang lebih keras dari deadline skripsi. Sisanya? Hanya sejarah yang akan mencatat… dalam format JSON. Anak programmer pasti paham ini.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar