Pontianak, PBSN – Memang luar biasa Uzbekistan. Bayangkan wak, hanya sembilan pemain, Serigala Putih ini bisa menumbagkan tuan rumah Arab Saudi. Uzbekistan ditasbihkan King Asia. Sambil seruput kopi di meja dapur, mari kita ulas kehebatan anak-anak Asia Tengah menjadi juara.
Pada malam yang disiram cahaya bulan separuh dan panasnya stadion King Fahd Sports City, sejarah kembali menulis namanya di atas pasir waktu. Tepat 20 April 2025, di Taif, Arab Saudi, dunia menyaksikan sebuah lakon yang lebih epik dari The Battle of Helm’s Deep, lebih mencengangkan dari plot twist sinetron 976 episode.
Uzbekistan U17 yang lebih layak disebut Para Pendekar dari Lembah Stepa, berhasil menaklukkan Arab Saudi, 2-0, dalam laga final Piala Asia AFC U17 2025. Namun, bukan itu saja yang membuat laga ini pantas diukir di dinding-dinding stadion se-Asia. Bukan, sobat. Ini bukan sekadar kemenangan. Ini pembuktian semesta bahwa tekad, nyali, dan sedikit ilmu kebal adalah senjata utama dalam peperangan.
Baru selesai azan babak pertama, dua kartu merah menghantam Uzbekistan secepat kilat menyambar lemang lemak. Entah karena salah paham takdir atau wasit sedang disusupi roh pengadil galak, dua pemain Uzbekistan diusir keluar lapangan. Itu kalau mau main Liga Tarkam, wasitnya pasti diteriaki, “Oi..wasit kena sogok!” Untungnya main di tanah Arab.
Lalu, Uzbek menyisakan hanya sembilan pendekar untuk melawan sebelas tuan rumah. Melawan Green Falcon muda. Bukan sembilan biasa. Ini sembilan yang entah bagaimana masih sempat menyusun strategi sambil mungkin memanggil arwah pelatih legendaris dari alam baka.
Statistik menyebutkan, dalam sejarah AFC U17, belum pernah ada tim yang menang di final dengan hanya sembilan pemain. Tapi Uzbekistan? Mereka bukan tim. Mereka legenda berjalan.
Menit ke-51, seperti halilintar membelah cakrawala, Uzbek justru dapat hadiah penalti dari wasit yang sempat diteriaki “kena sogok.” Dunia terdiam. Burung unta pun berhenti berlari. Saat Muhammad Khakimov melangkah ke titik putih, detak jantung penonton serasa digenggam dewa sepakbola. Ia menendang. Bola meluncur seperti anak panah dilepas oleh pemanah sufi. Goool! Tak ayal sang tuan rumah terdiam.
Skor 1-0. Dalam keadaan sembilan lawan sebelas. Ini bukan laga. Ini semacam tafsir modern dari “Perang Badar versi sepakbola.”
Seakan belum puas, pada menit ke-70, Khasanov, anak muda yang mungkin disusui oleh singa saat kecil, menusuk pertahanan lawan seperti pisau panas menembus mentega. Gol kedua! Stadion hening. Arab Saudi, yang sedari awal dominan dalam jumlah, kini malah dominan dalam kebingungan.
Arab Saudi, entah kenapa tampak seperti kehilangan GPS taktis. Mereka punya keunggulan jumlah, dukungan suporter, AC stadion, bahkan mungkin doa nenek-nenek yang menonton dari Mekah. Tapi semua itu tidak cukup untuk menembus pertahanan Uzbek yang sekeras nasihat guru ngaji di malam minggu. Duel berakhir. Uzbek juara, Saudi meratapi nasib.
Pelatih Uzbek, Islom Ismoilov, tampak seperti pendekar tua yang baru saja memenangkan duel melawan sembilan kepala naga. Dalam wawancaranya, ia berkata, “Kami sembilan orang, tapi kami punya satu hati. Hati itu dibalut baja.”
Kemenangan ini adalah gelar kedua Uzbek dalam sejarah AFC U17, setelah pertama kali menjadi juara pada 2012. Dua bintang di dada, satu legenda di jiwa.
Tak ada lagi yang bisa dikatakan. Uzbekistan U17 telah membuktikan bahwa sepakbola bukan sekadar taktik, statistik, atau jumlah pemain. Ini tentang jiwa, warisan, dan sedikit kegilaan. Malam tadi, Serigala Putih menggonggong di bawah bulan gurun, mengukir kisah yang akan diturunkan dari satu generasi ke generasi lain:
“Kami hanya sembilan. Tapi sembilan kami cukup untuk mengguncang Asia.”
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar