Merasa Terpojok, AS Susupkan Tiga Agen Intelijen ke China

Pontianak, PBSN – Perang dagang antara Amerika Serikat vs China belum reda. Malah semakin panas. Hari ke hari, Paman Sam semakin terpojok dan mulai main curang. Tak mempan jurus tariff gilanya, negeri Donald Trump itu menyusupkan tiga agen inteligennya untuk mencuri data rahasia. China protes dan marah besar. Menarik ya, wak! Yok kita investigasi permainan curang Amerika, tentu sambil seruput kopi lagi.

Amerika Serikat menaikkan tarif impor barang dari China hingga 245%. Bukan main-main. Produk-produk seperti baja, aluminium, kendaraan listrik, dan panel surya, semuanya kena getah. Alasannya klise, perlindungan industri dalam negeri. Padahal, di belakang layar, para petinggi Washington sudah gelisah melihat ekspansi China yang makin brutal, cepat, dan tanpa basa-basi. Amerika mulai kelabakan, seperti kakek-kakek yang sadar dirinya tak bisa lagi sprint, sementara China lari pakai jetpack.

China tentu tidak tinggal diam. Mereka membalas dengan menaikkan tarif impor barang dari Amerika hingga 125%. Gertakan balik ini mengacaukan pasar global. Harga melonjak, rantai pasok berantakan, dan perusahaan-perusahaan multinasional panik seperti kucing jatuh ke kolam. Bahkan Indonesia, yang seharusnya cuma nonton sambil makan tahu goreng, ikut kena getahnya. Mulai dari harga solar panel yang melonjak, sampai iPhone yang harganya bikin jantung copot.

Tapi di balik perang tarif ini, terselubung kisah yang lebih gila. Lebih epik dari kisah pahlawan Marvel, lebih licik dari plot Game of Thrones. Karena ternyata, agen intelijen diturunkan. Bukan film. Bukan teori. Ini nyata.

China mengklaim tengah memburu tiga agen NSA Amerika Serikat yang dituduh melakukan serangan siber ke sistem vital selama Asian Winter Games 2025 di Harbin. Bukan acara biasa. Ini pesta olahraga musim dingin yang diam-diam disusupi virus digital. Tiga nama muncul: Katheryn A. Wilson, Robert J. Snelling, dan Stephen W. Johnson. Nama-nama biasa, wajah biasa, tapi katanya bisa bikin listrik satu kota padam dengan sekali klik. Mereka tak cuma mengintai, tapi menembus sistem penyelenggaraan acara, mencuri data pribadi dalam jumlah masif, dan bahkan menyusup ke infrastruktur seperti energi, telekomunikasi, transportasi, dan percayalah, riset pertahanan.

Lucunya, mereka menggunakan perangkat berbasis Microsoft Windows. Ya, sistem operasi yang sudah dikenal suka hang pas mau presentasi, kini dipercaya jadi alat utama operasi intelijen kelas dunia. Apa mereka juga pakai PowerPoint buat koordinasi misi? Atau Excel buat nyusun data sabotase? Dunia bertanya-tanya.

China sudah melayangkan protes resmi ke Amerika. Isinya, hentikan aktivitas siber yang merugikan. Tapi jawaban dari AS? Tersenyum dan pura-pura tidak tahu apa-apa. Klise diplomatik yang sudah seperti sinetron, emosi boleh naik, tapi ending-nya selalu menggantung.

Yang jelas, perang dagang ini sudah berubah jadi perang hantu digital. Jika dulu perang berarti tembakan dan rudal, kini hanya butuh WiFi dan password yang bocor. Amerika dan China tak lagi saling hantam secara terang-terangan, mereka berperang di ranah yang tak terlihat. Dunia maya, server bawah tanah, kabel serat optik. Ini bukan lagi soal uang, ini soal dominasi.

Pertanyaannya, siapa menang? Tak ada. Satu-satunya yang kalah adalah kita. Rakyat dunia. Harga barang naik, data pribadi dijadikan catur global, dan negara-negara kecil seperti Indonesia cuma bisa menyaksikan, mengelus dada, dan berharap besok masih bisa beli laptop.

Selamat datang di era baru, Perang Tarif, Agen Rahasia, dan Drama Diplomatik Penuh Tawa Pahit. Kita bukan sekadar saksi sejarah. Kita adalah korban diskon palsu dari kapitalisme global.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *