Rahasia Kebugaran Pemain Korea Utara

Olahraga, Opini122 Views

Pontianak, PBSN – Timnas U-17 kita dibantai Korea Utara 0-6. Itu bukan kekalahan biasa. Itu lebih mirip tontonan dokumenter “Discovery Channel” di mana satu spesies unggul secara genetis mendominasi spesies lain yang sedang belajar jalan. Kita datang dengan harapan, mereka datang dengan… semacam kekuatan dari dimensi lain.

Media Jepang dan Korea Selatan mulai mencurigai pemalsuan umur. Lebih-lebih warga +62 terus mengorek usia pemain negara komunis itu. Bahkan, berharap FIFA membatalkan kemenanga Korut bila terbukti palsukan umur. Harapannya, bocil Garuda lolos ke semifinal. Duh, ngarapnya kejauhan, wak.

Tapi saya tidak tertarik soal umur. Saya tertarik soal otot. Otot, stamina, dan napas yang seakan-akan ditenagai oleh nuklir mini dalam dada mereka.

Lihat saja mereka berlari. Tidak terengah-engah, tidak tampak letih. Seolah paru-paru mereka dilengkapi turbocharger. Satu pemain bertubuh seperti hasil kolaborasi antara pelatih kebugaran dan pemahat Yunani Kuno. Yang lain tampak seperti bisa mengangkat wasit sambil tersenyum. Ini bukan sepak bola. Ini gladiator gladiator muda yang dikirim dari negeri Kim Jong-un dengan satu misi, membuat kita mempertanyakan eksistensi vitamin yang kita minum setiap pagi.

Kita tak bisa menuduh sembarangan, tapi ayolah. Seorang remaja 17 tahun biasanya punya jerawat, bukan rahang seperti ukiran granit. Mereka bukan hanya menang dalam skor, mereka menang dalam evolusi. Jika rumor yang beredar benar, rahasia mereka bukan doping, bukan teknologi, tapi, ginseng. Ya, ginseng. Tanaman ajaib yang konon bisa menyembuhkan segalanya kecuali patah hati, itu pun mungkin bisa kalau diseduh dengan benar. Dalam genggaman pemain Korut, ginseng berubah jadi serum super soldier.

Kita juga dengar mereka rutin lari malam. Lari. Malam. Bukan ke warung, bukan buat jajan, tapi buat menaklukkan malam itu sendiri. Saat pemain kita sedang scroll TikTok dan sibuk mencari filter wajah glowing, pemain Korut sedang menaklukkan bukit dan dialog batin sambil sprint. Mereka bukan lari untuk sehat. Mereka lari untuk mempersiapkan invasi.

Ada juga laporan bahwa mereka bermeditasi sebelum pertandingan. Bukan meditasi gaya selebgram yang bilang “healing vibes” sambil rebahan di Bali. Ini meditasi sejati, semacam ritual untuk menyatu dengan kekuatan leluhur. Mungkin mereka bicara dengan arwah prajurit zaman dinasti, atau mungkin dengan bayangan kemenangan 6-0 yang akan mereka capai.

Fasilitas mereka? Konon, lebih canggih dari laboratorium riset beberapa negara. Lapangan yang bisa mendeteksi detak jantung, bola pintar, dan pelatih yang tidak pernah tersenyum sejak 1993. Anak-anak itu tidak hanya dilatih untuk main bola, tapi untuk bertahan di dunia tanpa rasa lelah. Setiap tackle mereka seperti puisi kekerasan. Setiap sprint seperti soneta kecepatan. Dan kita? Kita jadi penonton yang hanya bisa bilang, “kok bisa?”

Bahkan kalau benar umur mereka lebih dari 17, saya takkan marah. Saya hanya ingin tahu, mereka minum apa? Tidur berapa jam? Apakah mereka pernah merasakan pegal-pegal setelah main futsal seperti kita? Karena dari penampilan mereka, rasa lelah tampaknya adalah mitos kapitalis.

Kalau ini masa depan sepak bola, kita harus segera bertindak. Lupakan akademi. Bangun asrama di atas gunung. Latih anak-anak kita dengan kecepatan angin dan kekuatan hati. Paling penting, buang semua boba, ganti dengan ginseng.

Karena jika tidak, 6-0 akan jadi kenangan manis yang paling ringan.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *