Seni Bertahan Hidup Diantara Dua Kasta Pengangguran

Opini, Sosial96 Views

Jakarta, PBSN – Awal tahun ini, gelombang PHK menyapu Indonesia dengan tenang tapi pasti, seperti arus bawah laut yang tak tampak namun menyeret banyak kaki. Perusahaan-perusahaan bersalin rupa menjadi mesin efisiensi, memotong beban tenaga kerja dengan presisi lebih tajam dari pisau dapur. Akibatnya, angka pengangguran tak lagi menjadi data statistik yang dingin, melainkan wajah-wajah nyata yang bingung mencari kerja apa di usia yang sudah tidak muda.

Di negeri ini, pengangguran tidak mengenal level pendidikan. Dari yang baru lulus SMP sampai yang sudah menyandang gelar S3, semua duduk di bangku yang sama—bangku kosong tanpa meja kerja. Namun, seperti biasa, bahkan dalam keadaan tanpa pekerjaan pun, struktur sosial tetap bertahan. Pengangguran pun terbagi dalam dua kasta.

Pertama, pengangguran kasta tajir. Mereka ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan—mereka hanya kehilangan jadwal meeting. Kehidupan tetap berjalan, hanya tanpa email masuk. Mereka yang di-PHK tapi memiliki saldo rekening gendut di ATM. Uang simpanan mereka cukup untuk menyewa waktu: sebulan istirahat, dua bulan menganggur disebut “personal retreat.” Jika pun ada krisis yang mereka rasakan, itu krisis memilih destinasi healing yang belum terlalu ramai turis.

Di sisi lain, ada pengangguran kasta fakir. Mereka yang gajinya habis sebelum tanggal muda sempat menyapa. Mereka yang, ketika kehilangan pekerjaan, kehilangan lebih dari sekadar pemasukan. Mereka kehilangan ritme hidup, kehilangan harga diri, kehilangan ruang untuk berpikir panjang karena kebutuhan harian datang tanpa jeda. PHK bagi kasta ini bukan jeda, tapi jedug. Mendadak. Keras. Mengguncang seisi rumah.

Mereka yang sebelumnya hidup dari upah yang tak bertahan satu bulan, kini berlatih menerapkan metode religius dalam hidup—yaitu sabar dan tawakal. Sabar menahan lapar, tawakal mencari kerja baru. Kalau keduanya tidak menemukan jalan keluar, maka harapan terakhir tinggal bergantung pada kemungkinan bahwa keadilan sosial, yang langka di dunia, mungkin bisa didapatkan di alam berikutnya.

Di era keterpurukan menjadi pengangguran, mulailah bermunculan solusi bermotif bisnis. Makin banyak ditawarkan pelatihan daring, seminar tentang kewirausahaan, dan motivasi yang dirancang untuk memperbaiki “mindset.” Pelatihan-pelatihan yang ujungnya hanya menambah koleksi sertifikat tanpa karier yang jelas. Dana pelatihan makin banyak dikeluarkan, profesi tetap: pengangguran.

Di tengah semua ini, mereka—si kasta pengangguran fakir—harus terus bertahan. Bukan karena kuat, tapi karena tidak ada tempat untuk jatuh. Mereka tidak punya waktu untuk menangis; ada setumpuk tanggung jawab yang menunggu untuk dipenuhi. Karena nyatanya, tagihan listrik negara bahkan tetap tega meminta dibayar saat kepala keluarga sedang dalam kondisi pengangguran. Ironis, tapi begitulah kita hidup di era badai ekonomi, yang efeknya hanya menyerang si fakir. Di mana yang tajir tetap santai, yang fakir tersapu badai.

Oleh : Ririe Aiko

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *