Jakarta, PBSN – Webinar Hatipena edisi kali ini menghadirkan sebuah diskusi yang menggugah, mendalam, dan penuh refleksi tentang gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantam industri pers belakangan ini. Dihadiri oleh narasumber utama, Albert Kuhon—wartawan senior yang telah malang melintang di dunia jurnalistik—diskusi ini membuka mata kita tentang realitas getir yang tengah melanda dunia media saat ini.
Albert Kuhon memaparkan dengan tajam bagaimana industri pers, yang dulu menjadi pilar demokrasi dan benteng terakhir suara kebenaran, kini tengah mengalami fase paling genting dalam sejarahnya. Bukan hanya karena krisis ekonomi global atau perkembangan teknologi, tetapi karena bergesernya orientasi publik terhadap informasi. Di era digital saat ini, kredibilitas media sering kali bukan lagi dinilai dari kebenaran yang disuarakan, tetapi dari seberapa banyak klik, likes, dan followers yang dimiliki.
Diskusi menjadi semakin menarik ketika mengangkat pertanyaan besar: bagaimana seorang penulis tetap bisa bertahan menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah situasi yang lebih memihak pada popularitas daripada substansi? Albert menegaskan bahwa idealisme penulis bukan hanya tentang menulis apa yang benar, tetapi juga keberanian untuk tetap menulis saat kebenaran itu tak lagi laku di pasar.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya fenomena buzzer bayaran yang mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. Seperti yang diungkapkan oleh Pa Ahkam Jayadi dalam sesi tanggapannya, kehadiran buzzer menciptakan ilusi kebenaran yang membingungkan publik. Narasi yang paling keras suaranya, bukan yang paling benar, tetapi yang paling banyak dibayar dan disebarkan. Di sinilah pers menghadapi tantangan besar: bagaimana mempertahankan integritas dan keberlanjutan hidup di tengah gempuran opini digital yang terstruktur dan terorganisir untuk membelokkan fakta.
Salah satu akar persoalan terbesar yang disoroti adalah persoalan ekonomi. Tak bisa dipungkiri, keberlangsungan sebuah media sangat bergantung pada pendapatan iklan. Namun sayangnya, kuota iklan saat ini lebih banyak diarahkan kepada media yang memiliki traffic tinggi, bukan kepada media yang menjaga kualitas dan integritas informasi. Maka tak heran jika banyak media perlahan menghilang, hanya menyisakan nama, tanpa nyawa. Mereka tak mampu bersaing di arena di mana kebenaran bukan lagi nilai jual utama.
Publik pun menjadi bagian dari dinamika ini. Di era post-truth, masyarakat sering kali lebih mempercayai apa yang ingin mereka percayai dibandingkan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tantangan ini membuat peran seorang penulis semakin kompleks: tidak hanya sebagai pencatat fakta, tetapi juga sebagai penjaga akal sehat publik.
Namun, seperti yang ditegaskan dalam closing statement Albert Kuhon, “Suara kebenaran sampai kapan pun tidak bisa diperkosa oleh ketidakadilan.” Kalimat ini menjadi peneguh semangat, bahwa dalam badai ketidakpastian dan gelombang PHK yang terus terjadi, masih ada secercah harapan bagi media yang tetap berpihak pada nurani.
Diskusi ini tidak hanya menjadi refleksi kritis atas krisis media saat ini, tapi juga menjadi inspirasi untuk terus bertahan, menulis, dan menyuarakan kebenaran—meski dunia seolah tak lagi peduli.
Oleh : Ririe Aiko