Sindiran Megawati Menyulut Negeri Ini Terasa Terbakar

News, Politik31 Views

Jakarta, PBSN – Tarik napas dulu, lalu keluarkan pelan-pelan. Lalu, siapkan kopi tanpa gula. Jadikan narasi ini sebagai teman ngopi agar otak selalu encer dan waras.

Masih cerita ijazah Jokowi. Di sebuah negeri bernama Indonesia, tempat di mana logika bisa dijual kiloan dan kebenaran ditimbang pakai perasaan, rakyatnya mendadak kehilangan selera makan, bukan karena harga beras naik, tapi karena selembar kertas bernama ijazah. Bukan ijazah kelulusan anak tetangga, tapi milik mantan presiden, Ir. H. Joko Widodo.

Sejak April hingga Mei 2025, negeri ini seperti masuk pusaran film dokumenter Netflix bergenre thriller hukum spiritualis. Yang jadi penonton? Kita semua. Yang jadi komentator? Netizen. Yang jadi sutradara?

Tanggal 22 Mei 2025 menjadi klimaks, sidang di Pengadilan Negeri Sleman digelar. Sebuah tempat suci baru bagi mereka yang percaya bahwa segala kebenaran bisa dibuktikan lewat embos ijazah. Roy Suryo, mantan Menpora sekaligus pendekar metadata, berdiri di garis depan. Dengan bekal lensa zoom dan keberanian menatap scanner, ia menantang negara. “Tunjukkan ijazahmu, wahai pemimpin!” katanya, seperti nabi postmodern yang turun dari Gunung Tweet.

Media sosial bukan lagi ladang silaturahmi. Ia menjelma Colosseum digital. Para pendukung Jokowi dan Roy Suryo cs saling melemparkan komentar seperti gladiator lempar batu bata. Tiada hari tanpa debat. Di Facebook, ada yang sampai putus pertemanan gara-gara beda pendapat soal stempel basah. Di TikTok, suara narator AI membaca isi gugatan terdengar lebih khusyuk dari khutbah Kades ngajak gotong-royong. WhatsApp grup keluarga ada bubar jalan. Semua demi satu pertanyaan sakral, “Apakah ijazah itu asli atau hanya ilusi optik dari printer Epson L3110?”

Lalu muncullah Megawati Soekarnoputri, perempuan tangguh, Ketum PDIP, mantan presiden, dan kini, secara tidak resmi, filsuf paling ditakuti di timeline. Dalam acara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), 14 Mei 2025, beliau berkata dengan lirih tapi menusuk, “Kalau memang ijazahnya asli, ya tunjukin aja ke publik. Tidak usah bikin ribet.” Pernyataan itu seperti petir di siang bolong, atau lebih tepatnya, hujan deres di grup WA yang sepi. Semua langsung heboh. Yang pro bilang, “Mega mulai sadar.” Yang kontra bilang, “Itu pasti deep fake!” PDIP buru-buru klarifikasi, “Ibu Ketua Umum tidak menyebut nama siapa pun.” Bahkan dikatakan bahwa konteksnya umum, seperti pepatah yang bisa ditafsirkan semaunya, tergantung siapa yang merasa tertampar duluan.

Kuasa hukum Jokowi tak tinggal diam. Dengan jas rapi dan senyum tipis, mereka menyampaikan bahwa ijazah asli sudah diserahkan ke Bareskrim Polri. Kata mereka, semua ini sudah dipolitisasi. Bahwa Jokowi adalah alumni sah UGM, Fakultas Kehutanan, dan punya NIM yang bisa diverifikasi, kecuali kalau semua dosen, teman sekelas, dan petugas arsip kampus ikut conspirasi. Yang skeptis tetap tak percaya. Mereka bilang, “Kalau pun ada ijazah, itu bisa dibikin di percetakan belakang stasiun.” Kita pun kembali ke filsafat hukum, bahwa di negeri ini, yang benar adalah yang dipercaya oleh mayoritas netizen dengan koneksi stabil dan kuota cukup.

Maka kita sampai pada simpulan sementara, hukum bukan lagi tentang pasal dan pembuktian, tapi soal narasi dan impresi. Logika dibungkus dalam bungkusan opini publik. Sidang ini bukan lagi perkara legalitas, tapi soal eksistensi, apakah kebenaran itu objektif, atau sekadar hasil polling Twitter?

Pada 22 Mei akan menjadi hari besar. Bukan karena keputusan sidang, tapi karena pada hari itu, Indonesia akan membuktikan satu hal, bahwa di zaman sekarang, lebih mudah membuktikan keberadaan alien dari membungkam netizen.

Rosadi Jamani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *