Jakarta, PBSN – Di sebuah sudut warung gorengan, tangan penjual dengan cekatan membungkus tempe mendoan dan bakwan panas dengan selembar kertas. Tapi itu bukan kertas sembarangan. Ada foto ukuran 3×4 di pojok kiri atas, ada tulisan tebal: “Daftar Riwayat Hidup.” Sebuah CV. Sebuah harapan. Sebuah dokumen yang dahulu diketik dengan cermat dan semangat. Kini, ia telah berubah fungsi menjadi bungkus tahu isi dan risoles. Ironis? Jelas. Tapi juga nyata.
Begitulah nasib banyak surat lamaran kerja dan CV hari ini. Tidak sampai ke tangan HRD, apalagi ke ruang wawancara. Alih-alih dibaca dan dipertimbangkan, mereka justru dijual kiloan ke tukang loak, berakhir sebagai bungkus gorengan. Padahal, setiap lembar itu adalah jeritan tak terdengar dari para sarjana yang sedang berjuang mencari celah di tengah sempitnya dunia kerja.
Kita telah belajar keras. Kita sudah menghafal teori Maslow, menganalisis SWOT, menulis skripsi berjilid-jilid, bahkan mungkin menulis tesis sambil begadang berhari-hari. Di kampus, kita diajarkan untuk berpikir kritis, sistematis, logis, ilmiah. Tapi ternyata, tidak satu pun mata kuliah yang mengajarkan bagaimana caranya menanggung kenyataan: bahwa setelah toga dipakai dan gelar di tangan, justru perang terbesar baru saja dimulai.
Predikat sarjana yang dulu dibanggakan keluarga kini seperti tak bernilai di pasaran. Kita mulai membuat satu demi satu CV dengan harapan sederhana: diterima bekerja, punya penghasilan tetap, dan perlahan bisa balik modal dari biaya kuliah yang telah menguras tabungan keluarga atau bahkan melunasi pinjaman bank. Tapi harapan itu perlahan luntur ketika angka CV yang dikirim berubah dari satuan menjadi puluhan, dari puluhan menjadi ratusan. Dan semua itu nyaris tanpa balasan.
Di Bandung, di Jakarta, di pelosok kota lainnya, pemandangan ini semakin lazim. Bukan karena mereka tidak pintar. Bukan karena mereka kalah bersaing. Tapi karena sistemnya memang tak memberi ruang. Dunia kerja hari ini tidak menunggu lulusan terbaik. Ia hanya membuka pintu bagi mereka yang “beruntung”—yang punya koneksi, atau kebetulan cocok dengan algoritma rekrutmen digital yang tak pernah memberi ruang untuk kata “berproses.”
Dan kalaupun diterima kerja, jangan berharap banyak. Banyak sarjana yang akhirnya menerima pekerjaan dengan gaji dibawah tiga juta. Nilai gaji yang bahkan lebih rendah dari lulusan yang tidak pernah kuliah. Satu-satunya yang membedakan hanyalah gelar di tanda tangan kontrak. Selebihnya, kita semua sama: bekerja keras demi bertahan hidup, bukan demi aktualisasi diri seperti kata teori Maslow.
Satu per satu, sarjana pun menurunkan gengsi. Tidak lagi malu berjualan di TikTok Live, tidak ragu jadi admin online shop, bahkan tidak keberatan menjadi pengemudi ojek. Mereka bukan sedang menyerah. Mereka sedang bertahan. Karena nyatanya ijazah tidak bisa mengisi perut lapar.
Satu hal yang perlu diingat: ini bukan soal gengsi. Ini soal bertahan hidup. Dan mereka yang memilih jalan itu bukan kalah, melainkan realistis. Mereka menyadari bahwa dunia kerja bukanlah panggung apresiasi, melainkan arena kompetisi brutal.
Maka, jika suatu hari Anda membeli gorengan dan mendapati pembungkusnya adalah surat lamaran kerja, mungkin itu milik seseorang yang dulu bermimpi menjadi manajer, analis keuangan, atau bahkan ilmuwan. Sekarang, dia mungkin sedang menjajakan dagangan di pinggir jalan atau membawa penumpang dari aplikasi ponsel. Bukan karena dia tak punya impian, tapi ia harus berdamai dengan kenyataan yang lebih keras, yaitu tentang bertahan hidup.
Bukan, ini bukan cerita tentang kegagalan. Ini adalah kisah para pejuang lamaran, Yang terus bangkit mengorek peluang, meski harapannya sudah digoreng berkali-kali.
Oleh : Ririe Aiko