Jakarta, PBSN – Bayangkan seorang petani kecil di pedalaman Nusa Tenggara Timur yang harus menempuh jarak berjam-jam demi mengakses layanan kesehatan, hanya untuk mendapati bahwa rumah sakit yang dulu bisa melayaninya kini telah beralih ke skema asuransi swasta.
Tanpa premi, tanpa layanan. Atau mahasiswa kedokteran yang baru saja memulai program pendidikan dokter spesialis (PPDS) mendapati programnya dibekukan tanpa alasan akademik yang jelas.
Semua karena restrukturisasi kebijakan.
Apakah ini gambaran sistem kesehatan yang berbasis kepentingan masyarakat? Atau justru sistem yang telah digiring secara halus menuju liberalisasi yang keliru?
Polemik antara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan ratusan Guru Besar FKUI bukan sekadar konflik komunikasi.
_Ini adalah pertarungan gagasan antara paradigma pro-pasar dan paradigma hak sosial atas kesehatan._
Ketika Menkes menyatakan bahwa arah kebijakan kini “berbasis kepentingan masyarakat 280 juta jiwa”, pertanyaannya adalah: masyarakat yang mana?
Karena yang terlihat, justru sektor industri, asuransi swasta, dan rumah sakit korporatis yang kini semakin mengambil panggung.
*Dari Liberalisasi Bank ke Liberalisasi Rumah Sakit: Pelajaran dari Krisis 1998*
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa pasar tidak selalu mampu mengatur dirinya sendiri.
Indonesia telah mengalami tragedi saat sektor perbankan diliberalisasi secara cepat pada awal 1990-an.
Deregulasi kredit tanpa penguatan institusi pengawasan menyebabkan pembengkakan utang, praktik perbankan yang sembrono, dan akhirnya, krisis moneter 1998 yang menghancurkan ekonomi nasional dan menjerumuskan jutaan rakyat ke jurang kemiskinan.
Kini, sektor kesehatan berada di ambang jurang yang serupa.
Kebijakan Menkes Budi yang tampaknya ingin mengintegrasikan sistem kesehatan dengan logika pasar (berbasis kompetisi, efisiensi biaya, dan profit) tidak memperhitungkan realitas fundamental: bahwa kesehatan bukan barang dagangan.
Ini adalah public good dan hak dasar manusia yang pelayanannya harus dijamin oleh negara, bukan diserahkan ke mekanisme pasar.
*Pasar Gagal Mengatur Kesehatan: Sebuah Kepastian Ekonomi*
Dalam ilmu ekonomi, sektor kesehatan merupakan textbook example dari market failure.
Tiga alasan utama menjelaskan kegagalan pasar di sektor ini: (1) asimetri informasi antara pasien dan penyedia layanan, (2) eksternalitas positif dari layanan kesehatan yang tak dihargai pasar, dan (3) ketidakpastian biaya dan hasil yang membuat permintaan tak elastis.
Pasien tidak bisa memilih layanan seperti memilih produk di pasar swalayan.
Mereka tidak tahu apa yang dibutuhkan secara medis, dan sering bergantung sepenuhnya pada dokter.
Ketika layanan kesehatan dikomodifikasi, potensi eksploitasi atas ketidaktahuan pasien sangat besar. Hal ini memperburuk ketimpangan dan mengarah ke krisis kepercayaan.
*Kesehatan yang Dikomersialkan Akan Meningkatkan Ketimpangan*
Langkah-langkah yang sedang diambil Menkes, termasuk memperluas peran asuransi swasta dan mendesain ulang tata kelola kolegium kedokteran, membawa sinyal liberalisasi sistemik.
Ini akan menciptakan dualisme layanan: satu untuk mereka yang mampu bayar, satu lagi untuk rakyat biasa yang hanya bisa mengandalkan sistem yang makin terdegradasi.
Di negara seperti Amerika Serikat, yang sistem kesehatannya paling liberal, jutaan orang tetap tidak terlayani secara layak meski GDP negara itu terbesar di dunia.
Akses kesehatan bergantung pada status kerja dan asuransi.
Akibatnya, rakyat miskin sering menunda atau bahkan menolak pengobatan karena biaya yang tak terjangkau.
Sebaliknya, negara-negara dengan sistem kesehatan berbasis negara seperti Inggris (NHS) atau Kanada menunjukkan capaian kesehatan yang lebih setara dan adil meski dengan biaya yang relatif lebih rendah per kapita.
Ini bukan karena pasar yang dihilangkan, tetapi karena negara hadir secara aktif sebagai pelindung kepentingan publik.
*Guru Besar FKUI: Benteng Terakhir Melawan Komersialisasi Pendidikan dan Layanan Kesehatan*
Ketika 121 Guru Besar FKUI mengirim surat ke Presiden, mereka tidak hanya menyuarakan keresahan akademik.
Mereka membunyikan alarm bahwa arah kebijakan saat ini mengancam fondasi etik dan ilmiah dari profesi kedokteran.
Perubahan tata kelola kolegium kedokteran agar berada di bawah Kementerian Kesehatan berpotensi menghapus independensi yang selama ini menjadi penjamin mutu dan objektivitas standar kompetensi dokter.
Ini serupa dengan menyerahkan ujian kelulusan universitas kepada menteri ekonomi. Ironis dan menyesatkan.
Pendidikan dokter tidak bisa diserahkan pada logika efisiensi administratif semata.
Butuh otonomi, ekosistem akademik yang sehat, serta interaksi yang jujur antara pengajar dan pembuat kebijakan.
Ketika guru besar disingkirkan dari proses pengambilan keputusan, maka yang lahir bukan dokter yang berkompeten, tapi teknisi kesehatan yang patuh pada sistem tanpa bisa berpikir kritis.
Bahaya Komodifikasi Kesehatan dan Penurunan Standar Profesi
Kebijakan yang menghentikan program PPDS secara sepihak tanpa transisi akademik jelas merupakan contoh kebijakan buruk yang tidak berbasis dialog dan tidak menghargai proses ilmiah.
Ini menunjukkan arogansi kekuasaan administratif yang tak mau mendengar suara lapangan.
Apabila hal ini dibiarkan, dalam jangka panjang kita akan menghadapi krisis kekurangan dokter spesialis, pendidikan kedokteran yang kacau, serta lulusan yang tidak siap menghadapi tantangan layanan masyarakat.
Lebih buruk lagi, jika pembiayaan pendidikan dan pelatihan medis diserahkan pada pasar dan skema swasta, maka hanya anak-anak dari keluarga berada yang akan bisa mengaksesnya.
Kita akan kehilangan potensi dokter-dokter brilian dari keluarga sederhana.
*Argumentasi Menkes: Retoris, Tapi Tidak Substantif*
Menkes Budi menyatakan bahwa semua arah kebijakan berpihak pada masyarakat, bukan pada rumah sakit atau industri.
Tapi pada saat yang sama, Menkes juga menyatakan semua kepentingan itu dipertimbangkan. Ini pernyataan kontradiktif.
Kebijakan yang sungguh berpihak pada rakyat harus dimulai dari penguatan layanan dasar, distribusi dokter ke daerah, pelatihan yang terstandar dan bebas dari intervensi komersial, serta transparansi dalam kerja sama dengan industri farmasi.
Bukan dengan menyeragamkan sistem melalui pendekatan sentralistik atau menyerahkannya ke pasar.
*Pentingnya Demokrasi dan Dialog dalam Kebijakan Kesehatan*
Kesehatan adalah medan perjuangan antara nilai-nilai teknokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika Menkes mengabaikan suara akademisi, ia tidak hanya melecehkan pengetahuan, tapi juga menutup ruang demokrasi partisipatif.
Padahal kebijakan kesehatan yang baik hanya bisa lahir dari proses yang inklusif dan deliberatif.
Guru besar FKUI mewakili suara nalar ilmiah dan pengalaman puluhan tahun di lapangan.
Mereka bukan aktor politik, tetapi penjaga etika dan kualitas layanan. Ketika mereka berbicara, publik seharusnya mendengar.
*Mengembalikan Kesehatan sebagai Hak, Bukan Komoditas*
Kesehatan harus dikembalikan ke pangkuan negara sebagai hak dasar.
Sistem JKN harus diperkuat, bukan dikerdilkan oleh intervensi asuransi swasta.
Pendidikan kedokteran harus diposisikan sebagai ekosistem akademik, bukan jalur industri.
Negara perlu mereformasi kebijakan kesehatan dengan semangat pluralisme, transparansi, dan keberpihakan pada yang lemah.
Ini berarti menghindari pendekatan liberal pasar yang sudah terbukti gagal di banyak sektor dan negara.
*Saatnya Publik Mendukung Akademisi Melawan Komersialisasi Kesehatan*
Polemik antara Menkes dan Guru Besar FKUI harus dilihat sebagai momen refleksi nasional.
Kita harus memilih: apakah kesehatan akan kita serahkan ke pasar dan asuransi, atau tetap menjadi hak rakyat yang dijaga oleh negara dan komunitas ilmiah?
Dukungan publik terhadap sikap para Guru Besar bukan hanya penting, tetapi mendesak.
Karena mereka bukan sedang membela kepentingan profesi semata, tapi sedang memperjuangkan masa depan sistem kesehatan yang adil, setara, dan manusiawi.
Negara yang sehat adalah negara yang menempatkan warganya sebagai subjek, bukan objek kebijakan.
Dan kesehatan, lebih dari sekadar angka-angka statistik, adalah cermin dari nilai-nilai kemanusiaan yang kita anut bersama.
Oleh: Achmad Nur Hidayat – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta