Jakarta – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) gencar menyalurkan kredit hijau (green finance) pada 2023.
Sepanjang tahun lalu, green finance yang disalurkan perusahaan mencapai Rp129 triliun atau naik 21,4% secara tahunan.
Perusahaan memperkirakan pada tahun ini akan terjadi peningkatan.
Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Alexandra Askandar mengatakan kredit hijau Bank Mandiri telah disalurkan untuk pertanian berkelanjutan Rp102 triliun, eco-efficient product Rp5,3 triliun, transportasi bersih Rp3,9 triliun, dan bangunan hijau Rp6,6 triliun.
Pembiayaan hijau Bank Mandiri juga telah diarahkan untuk fokus ke sektor berkelanjutan, seperti renewable energy termasuk pembangkit listrik bertenaga hydro, geothermal, transportasi, hingga ekosistem kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Alexandra menyatakan pada 2024 Bank Mandiri berupaya terus konsisten mendongkrak penyaluran kredit hijau.
“Sektor sasarannya, sejalan dengan rencana pemerintah dalam transisi energi, yang jadi fokus adalah renewable energy,” katanya seperti dikutip Bisnis, Kamis (1/2/24).
Adapun, strategi Bank Mandiri mendongkrak penyaluran kredit hijau adalah dengan melibatkan nasabah dalam transisi energi.
“Bank Mandiri punya ESG (environmental, social, and governance) desk khususnya segmen wholesale antara lain green loan, dan berbagai advisor ESG frameweork. Kami komitmen jadi mitra utama dalam transisi,” tutur Alexandra.
Ia mengatakan upaya Bank Mandiri mendongkrak penyaluran kredit hijau merupakan bentuk komitmen mendukung transisi menuju target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060.
Selain dengan penyaluran kredit hijau, dalam mewujudkan komitmen nol emisi karbon, Bank Mandiri juga aktif terlibat di bursa karbon Indonesia (IDX Carbon). Bank Mandiri juga merilis digital carbon tracking yang memungkinkan seluruh stakeholder melihat secara real-time jumlah karbon yang dihasilkan serta emisi yang berhasil dikurangi perseroan secara operasional.
Sementara itu, geliat perbankan seperti BMRI dalam menyalurkan kredit hijau seiring dengan potensinya yang dinilai besar. Tercatat, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tengara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim.
Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11% pada akhir abad ini. Kemudian, transisi energi juga menjadi salah satu priorotas pemerintah Indonesia saat ini.
Dalam upaya transisi itu, diperlukan investasi yang besar. Mengacu data dari NDC, Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar Rp4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Dana sebesar itu tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN. Perlu dorongan dari kredit hijau.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan penyaluran kredit hijau di Indonesia juga potensial menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi.
Kucuran kredit secara keseluruhan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar penyaluran kredit, maka pertumbuhan ekonomi semakin menanjak.
“Kontribusi kredit hijau sendiri ke Indonesia bisa tumbuh signifikan. Meskipun, saat ini masih tergolong kecil,” ujarnya kepada Bisnis pada Oktober tahun lalu (22/10/23).
Apalagi, penyaluran kredit hijau saat ini dalam tren tumbuh positif.
“Peluangnya terbuka lebar. Di satu sisi jadi model bisnis baru bagi lembaga jasa keuangan, termasuk bank. Sekarang pun mengemuka secara global isu ESG dan jadi tren. Proses percepatan kredit hijau ini harusnya jadi menarik,” tutur Amin.
(Red/Sumber)