Oleh : Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Semakin banyak masyarakat menggugat hasil Pemilu 2024 karena diduga kuat telah terjadi pelanggaran Pemilu secara terstruktur dan sistematis, dengan dampak masif (TSM), khususnya terkait Pilpres.
Pelanggaran Pemilu secara terstruktur hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah, artinya Presiden, beserta strukturnya, dari tingkat Pusat hingga Daerah, dibantu KPU dan Bawaslu, serta aparat hukum dan aparat bersenjata sebagai alat intimidasi.
Pelanggaran Pemilu secara terstruktur pasti dilakukan secara sistematis dan terencana, dan pasti mempunyai dampak masif, berskala nasional.
Pelanggaran Pemilu secara TSM diduga kuat melibatkan Joko Widodo sebagai master mind dibalik semua pelanggaran ini. Alasannya sebagai berikut.
Akhir Mei 2023, Presiden Joko Widodo mengaku akan cawe-cawe dalam Pemilu dan Pilpres 2024.
Pernyataan Joko Widodo sangat tidak lazim. Presiden seharusnya bersikap netral, bertindak sebagai “wasit” untuk memastikan KPU dan Bawaslu menyelenggarakan Pemilu dan Pilpres sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai “wasit”, Presiden tidak boleh cawe-cawe, atau ikut campur, atau intervensi kekuasaan.
Ternyata, pernyataan cawe-cawe Joko Widodo juga terkait dengan permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi terkait batas usia minimum capres-cawapres, yang sudah diajukan sejak April 2023.
Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengabulkan permohonan uji materi yang meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden, melalui Putusan MK No 90 pada 16 Oktober 2023.
Putusan MK beraroma Nepotisme tersebut juga melanggar UU Kekuasaan Kehakiman dan melanggar Konstitusi Pasal 24C ayat (5), bahwa
“Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.”
Terbukti, 7 November 2023, Majelis Kehormatan MK menjatuhkan vonis, Ketua MK Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etika berat di dalam proses persidangan uji materi batas usia capres-cawapres tersebut.
Tetapi, Majelis Kehormatan MK, diketuai Jimly Asshiddiqie, nampaknya juga terlibat “konspirasi” yang memuluskan jalan Gibran menjadi cawapres. Putusan MK yang terbukti melanggar undang-undang dan konstitusi tidak dibatalkan, meskipun proses persidangannya melanggar UU dan Konstitusi.
KPU kemudian menerima Gibran sebagai Cawapres Prabowo pada 25 Oktober 2023, yang mana melanggar Peraturan KPU dan Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu.
Pelanggaran ini terbukti dalam persidangan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), yang menghasilkan Putusan bahwa seluruh anggota Komisioner KPU melanggar etika berat terkait pencalonan Gibran, karena melanggar PKPU dan UU Pemilu.
Tetapi, sekali lagi, pencalonan Gibran tidak dibatalkan, meskipun melanggar hukum. Diduga kuat, semua itu karena adanya cawe-cawe intervensi Joko Widodo.
19 November 2023, Gibran menghadiri silaturahmi Desa Bersatu di GBK, yang juga dihadiri oleh para politisi pendukung Prabowo-Gibran. Suasana pertemuan bagaikan kampanye, meskipun waktu kampanye belum mulai. Kepala Desa menyatakan memberi dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran.
Cawe-cawe selanjutnya, Joko Widodo memanggil Kepala Desa ke Istana pada 29 Desember 2023. Ini adalah untuk yang kedua kalinya. Sebelumnya, Joko Widodo juga pernah memanggil Kepala Desa ke Istana pada 7 November 2023.
Kurang dari dua bulan Joko Widodo menemui Kepala Desa sampai dua kali. Ada apa? Apakah Kepala Desa begitu penting, yang akan dijadikan ujung tombak pelanggaran Pemilu TSM se Indonesia?
24 Januari 2024, Joko Widodo memberi pernyataan di pangkalan TNI AU Halim, bahwa Presiden, dan juga ASN, boleh kampanye dan memihak kepada pasangan calon tertentu.
Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa muara cawe-cawe Presiden adalah untuk berpihak kepada pasangan calon Prabowo-Gibran, yang diikuti dengan kebijakan keberpihakan yang menguntungkannya, seperti bantuan sosial beras atau bantuan langung tunai.
Tahap selanjutnya, sebagai rangkaian dari pelanggaran terstruktur dan sistematis, Pilpres dikondisikan harus berlangsung satu putaran saja. Untuk itu, lembaga survei diberdayakan untuk membentuk opini elektabilitas Prabowo-Gibran mencapai lebih dari 50 persen.
Padahal, sebelum Gibran menjadi Cawapres Prabowo, elektabilitas Ganjar Pranowo sejak Juli hingga September 2023 selalu unggul dari Prabowo dengan elektabilitas hanya sekitar 30-an persen.
Tetapi, setelah Gibran menjadi Cawapres, elektabilitas Prabowo-Gibran didongkrak terus oleh para lembaga survei, hingga tembus 40 persen pada survei November – Desember 2023.
Adapun menurut survei Litbang Kompas periode 29 November – 4 Desember 2023, elektabilitas Prabowo-Gibran masih di bawah 40 persen: hanya 39,3 persen saja.
Elektabilitas Prabowo-Gibran kemudian mulai diforsir (dipaksa) mencapai 50 persen lebih sejak akhir Januari, atau hanya dua atau tiga minggu menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024.
Rangkaian peristiwa di atas merupakan langkah dasar dan perencanaan awal pelanggaran terstruktur dan sistematis. Pertama, memaksa Gibran memenuhi kualifikasi menjadi cawapres: dengan melanggar UU dan Konstitusi. Kedua, memuluskan pencalonan cawapres Gibran: dengan melanggar UU Pemilu dan Peraturan KPU. Ketiga, dukungan Joko Widodo untuk memenangi Pilpres satu putaran, dengan memanipulasi survei dan mendongkrak elektabilitas.
Untuk mewujudkan rencana terstruktur dan sistematis Pilpres satu putaran maka diperlukan alat atau media pelanggaran (baca: kecurangan). Setidaknya ada dua media kecurangan yang harus dijalankan oleh Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu, dibantu aparat penguasa.