Ilustrasi Pusat Perbelanjaan, Foto : Beby
Jakarta, PBSN – Ramadhan dan Lebaran selalu menjadi momentum perputaran uang dan konsumsi masyarakat.
Namun, kini suasana itu berubah. Aroma kesulitan ekonomi terasa di setiap sudut, dari rumah tangga, pusat perbelanjaan, hingga terminal keberangkatan.
Warga banyak yang menahan belanja, pedagang ritel merasakan penurunan penjualan, sementara pemudik terpaksa mengurungkan niat kembali ke kampung halaman.
THR biasanya langsung ludes, kali ini berhemat
Seperti biasanya, tunjangan hari raya (THR) menjadi harapan utama. Namun, berbeda dari tahun-tahun lalu, warga kini lebih cermat memanfaatkan dana itu. Lina Fadliah (34), pramudi Transjakarta, menerima kabar gembira pada Kamis (20/3/2025) sore. THR-nya cair.
”THR pastinya buat keperluan keluarga. Baju lebaran, jajanan, dan lainnya,” kata Lina saat ditemui di Pool Mayasari Bakti Klender, Jakarta Timur.
Namun, ia tak bisa menghamburkan uang seperti dahulu. ”Secukupnya saja, satu atau dua potong.
Makanan juga jangan sampai lapar mata,” ujarnya. Bahkan mudik yang biasa menggunakan kereta, kini berganti mobil pribadi demi menghemat.
Bambang Sugianto (53), rekan Lina, juga berpesan, ”Kalau dulu THR bisa buat banyak keperluan, sekarang harus lebih hemat. Harus menyesuaikan diri,” ujarnya di lokasi yang sama.
Pemudik Turun Drastis, Kampung Halaman Sepi
Survei Kementerian Perhubungan menunjukkan, jumlah pemudik Lebaran 2025 hanya 146,48 juta orang, turun 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Bagi Ria (35), dosen di Palangka Raya, mudik ke Aceh tak lagi masuk akal. Biaya tiket pesawat Rp 35 juta untuk empat orang tak terjangkau.
”Tahun lalu bisa mudik karena ada penghasilan tambahan sebagai penerjemah. Sekarang kerja sampingan sepi,” katanya saat dihubungi pada Kamis (20/3/2025).
Nasib lebih baik dialami Alia (36) yang tetap mudik ke Serang, Banten, meski anggarannya hanya Rp 1 juta dari biasanya Rp 5 juta. ”Ekonomi yang babak belur memaksa saya berhemat,” kata Alia, yang terkena PHK sejak Oktober 2024.
Masyarakat pun mulai mengadopsi pola konsumsi minimalis. Komunitas Bersalingsilang menggalakkan tukar-menukar baju bekas. ”Bertukar pakaian jadi opsi seru dan solutif,” kata pendirinya, Cynthia S Lestari, Rabu (19/3/2025).
Di Jakarta Barat, Studio Mulih menawarkan jasa perbaikan pakaian. ”Memperbaiki baju kadang lebih mahal dari membeli baru, tapi orang rela karena nilai sentimental,” ujar Beverly Tandjung, pendiri Studio Mulih.
Ritel Melesu, Rak Barang Tak Lagi Ramai
Di pusat perbelanjaan, tanda-tanda kelesuan terasa jelas. Menurut Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia Budihardjo Iduansjah, Senin (3/3/2025), ”Perusahaan menargetkan tumbuh 30 persen, tetapi hanya mencapai 20 persen. Itu artinya di bawah target.”
Penjualan di toko-toko besar mengalami penurunan atau pertumbuhan yang melambat.
Data semester I-2024 menunjukkan, peritel yang menyasar kelas menengah ke bawah, seperti Alfamart dan Indomaret, hanya tumbuh 10 persen dan 4 persen. Sementara Matahari Department Store malah mencatat penurunan penjualan 2,6 persen.
Yongky Susilo, Board Expert Hippindo, menambahkan, ”Daya beli warga kelas menengah dan atas juga tergerus. Mereka cenderung menahan belanja,” katanya pada Selasa (4/3/2025).
Belanja Lebaran Kian Menciut dari Tahun ke Tahun
Dalam lima Lebaran terakhir, proporsi belanja warga terhadap total konsumsi tahunan menurun. Pada 2024, proporsinya bahkan negatif, minus 0,4 persen poin—terendah dalam lima tahun terakhir.
Sep (29), warga Jawa Timur, tahun ini berhenti membeli parsel. ”Biasanya kalau Lebaran saya beli parsel untuk keluarga. Mungkin saat ini berhenti beli dulu. Konsumsinya untuk keluarga dulu, untuk orang lain nanti,” katanya pada Selasa (18/2/2025).
Survei Kepemimpinan Nasional Kompas mencatat, 60,8 persen warga tidak punya simpanan darurat.
Kenaikan gaji pun stagnan. Dari pertumbuhan rata-rata 6,7 persen pada 2010, kini tinggal 2,8 persen di 2024. Anggun Gunawan (40), dosen PPPK di Jakarta Selatan, hidup dengan gaji Rp 5 juta per bulan.
“Kalau beli buku untuk bahan ajar, uang susu anak habis,” katanya pada Senin (17/2/2025) lalu.
Pemerintah Gelontorkan Stimulus, tetapi Tak Cukup
Pemerintah mencoba menggenjot konsumsi dengan diskon tol, diskon tiket pesawat, dan pencairan bansos.
Namun, peneliti Indef, Riza Annisa Pujarama, menyebut, ”Stimulus dari Januari hingga Maret ini menunjukkan bahwa perekonomian dari sisi konsumsi sedang tidak baik-baik saja,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (19/3/2025).
Bank Indonesia pun menurunkan persiapan uang layak edar menjadi Rp 180,9 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 197,6 triliun. ”Penurunan ini juga mencerminkan kekhawatiran atas pelemahan ekonomi,” ujar Achmad Nur Hidayat, ekonom UPN Veteran Jakarta, Minggu (23/3/2025).
Ancaman Lebaran Tanpa Efek Domino Ekonomi
Ekonom Indonesia, Achmad Nur Hidayat menegaskan, penurunan tersebut dipicu berbagai faktor, antara lain daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih setelah gelombang PHK massal dan tekanan inflasi pada 2024.
Selain itu, kecenderungan masyarakat membelanjakan uang untuk produk impor serta berkurangnya dampak nyata dari pencairan THR, yang sebagian besar justru dialokasikan untuk membayar utang dan menambah tabungan, turut memperburuk situasi.
”Lebaran 2025 membuktikan konsumsi musiman tidak cukup menjadi motor pertumbuhan. Jika tidak diimbangi dengan produktivitas dan proteksi industri dalam negeri, Lebaran hanya menjadi euforia sesaat,” katanya.
Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2025 diperkirakan 4,5-4,7 persen, lebih rendah dibandingkan 2022-2024.
Ramadhan dan Lebaran tahun ini menjadi cermin kehati-hatian. Berhemat menjadi kata kunci, menandai kondisi ekonomi yang tidak mudah. Masyarakat memutar otak untuk bertahan, menunggu janji pemerintah dan berharap badai segera berlalu. Beb