Pontianak, PBSN – Kita tinggalkan sebentar kemenangan Megawati. Sekarang kita jalan-jalan lagi keluar negeri. Kali ini ke Amerika Serikat. Di sana mobil listrik, Tesla milik Elon Musk jadi sasaran amarah rakyatnya. Sambil seruput kopi liberika, kita dalami amarah negeri Paman Usman, eh salah, Paman Sam ini.
Mobil Tesla kini tampaknya telah resmi menjadi papan target bagi kemarahan publik. Bukan sekadar dicoret-coret dengan spidol permanen, mobil-mobil ini sudah sampai tahap dibakar, ditembak, dan dihancurkan secara sistematis. FBI bahkan sudah melabeli kejadian ini sebagai terorisme domestik. Karena jelas, kalau mobil listrik senilai ratusan ribu dolar jadi korban, itu pasti bukan ulah anak-anak yang iseng habis pulang sekolah. Ini sudah level revolusi.
Sumber masalahnya tentu saja satu nama, Elon Musk. Sejak Musk memutuskan untuk terjun ke politik dengan menerima jabatan sebagai Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) di bawah pemerintahan Donald Trump, dunia langsung berguncang. Langkah pertamanya? Pemotongan anggaran besar-besaran dan pengurangan pegawai pemerintah. Ketika ribuan orang tiba-tiba kehilangan pekerjaan dan anggaran bantuan sosial menyusut, wajar kalau orang-orang mulai mencari tempat untuk melampiaskan kemarahan mereka. Apa yang lebih simbolis dari menghancurkan karya paling ikonik dari orang yang dianggap biang keroknya?
Kalau di masa lalu orang protes dengan cara membawa spanduk atau orasi di depan gedung pemerintahan, kini protesnya lebih langsung dan praktis. Gerakan “Tesla Takedown” muncul sebagai bentuk perlawanan kreatif terhadap Musk dan kebijakan DOGE. Mereka tidak cuma menyerukan boikot di media sosial, tapi langsung bergerak ke lapangan, menghancurkan Tesla di showroom, membakar stasiun pengisian daya, dan menembaki logo Tesla di papan reklame. Karena jelas, kalau kamu marah terhadap kebijakan pemerintah, menghancurkan mobil listrik adalah solusi yang paling logis, setidaknya dalam pikiran mereka.
Elon Musk sendiri, dengan gaya dinginnya, mengaku “terkejut” dengan kebencian yang ia terima. Tapi di saat yang sama, ia juga menyalahkan pihak kiri politik yang dianggap terlalu sensitif dan reaksioner. Tentu saja, karena menurut Musk, ketika seseorang kehilangan pekerjaan dan jaminan sosial karena kebijakan yang ia buat, seharusnya mereka cukup menumpahkan kekesalan lewat tweet galak di Twitter, .eh, maksudnya di X. Tapi sayangnya, orang-orang ini memilih metode yang lebih dramatis, membakar Cybertruck di tengah malam atau melempar batu ke kaca Model Y yang sedang parkir di depan rumah tetangga.
Yang lebih menarik adalah bagaimana Tesla kini berubah dari simbol kemajuan teknologi menjadi simbol perlawanan politik. Mobil listrik yang dulu dipuji sebagai penyelamat lingkungan, sekarang justru dianggap lambang ketidakadilan sosial. Ada ironi di sini yang cukup kental, orang-orang membenci kapitalisme dan ketidakadilan politik, lalu mereka menghancurkan Tesla, mobil yang seharusnya menjadi solusi untuk masa depan yang lebih hijau. Dalam pikiran para pelaku, menghancurkan Tesla adalah bentuk pengorbanan suci demi keadilan sosial. Logis? Mungkin di alam semesta paralel.
Kerugian finansial Tesla jelas tidak kecil. Saham Tesla terjun bebas, kerusakan properti melonjak, dan biaya keamanan di showroom kini membengkak. Tapi apakah ini berdampak besar bagi Elon Musk? Tentu saja tidak. Kalau Tesla bangkrut, Musk tinggal jual satu-dua saham di SpaceX, beli pulau pribadi di Karibia, dan hidup bahagia sambil menyeruput margarita di tepi pantai. Kekayaan Musk bukan cuma dari Tesla, jadi kalau satu bisnis hancur, masih ada banyak kerajaan lain yang bisa menopang hidupnya.
Masalahnya sekarang, siapa yang benar-benar jadi korban? Musk jelas tidak rugi. Tesla bisa saja pulih dengan suntikan modal. Tapi para pemilik Tesla yang mobilnya jadi sasaran amarah ini? Nah, itu cerita lain. Asuransi kendaraan mungkin mencakup kerusakan akibat kecelakaan atau bencana alam, tapi kerusakan karena kebencian politik? Jangan harap. Kalau kamu punya Tesla dan tinggal di daerah rawan vandalisme, mungkin sudah saatnya membungkus mobilmu dengan stiker “I Love Musk” atau sekalian cat jadi warna merah-putih-biru biar terlihat patriotik. Siapa tahu, para vandalis bakal menghormati rasa nasionalismemu. Atau malah jadi target tambahan? Siapa tahu.
Akhirnya, vandalisme terhadap Tesla ini bukan lagi sekadar masalah kriminal, tapi sudah jadi simbol perang politik, ideologis, dan sosial. Kalau kamu lihat seseorang membakar Tesla di tengah jalan sambil berteriak tentang keadilan sosial, jangan bingung. Ini bukan sekadar aksi anarki, ini adalah cara baru untuk menyampaikan kritik. Karena di zaman sekarang, menghancurkan mobil listrik adalah bentuk protes paling modern. Selamat datang di era revolusi berbasis teknologi dan politik!
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar