Pontianak, PBSN – Kita kembali ke Turki, negerinya Zahra Gunes. Saya kira demo sudah berhenti, ternyata makin meluas. Sambil menunggu Megawati tampil di babak playoff dan Timnas vs Bahrain, mari kita saksikan lagi kehebohan aksi demo besar-besaran di sana.
Demonstrasi di Turki kali ini benar-benar panas. Bukan panas biasa, tapi panas level neraka lantai tujuh. Ribuan orang di Istanbul dan Ankara turun ke jalan, bukan untuk konser BTS atau pawai kemenangan Piala Dunia, tapi untuk memprotes penahanan Ekrem Imamoglu, wali kota yang, menurut banyak orang, adalah satu-satunya orang yang bisa menandingi kharisma Erdogan di kotak suara.
Tapi, mari kita realistis. Erdogan memang bukan politisi kemarin sore. Kalau dia cuma seorang pemula, mungkin sudah lari ke luar negeri dengan jet pribadi, sembunyi di vila mewah di Dubai, dan membuat pernyataan “Saya mundur demi rakyat.” Tapi ini Erdogan, bos! Dia tidak akan mundur semudah itu.
Sampai tulisan ini dibuat, demonstrasi telah menjalar ke lebih dari 55 provinsi. Ya, 55 dari 81 provinsi. Itu artinya, Turki saat ini hampir sepenuhnya berubah jadi panggung unjuk rasa raksasa. Mahasiswa yang biasanya cuma ribut di Twitter, kali ini benar-benar turun ke jalan. Kampus-kampus sepi, tapi jalanan ramai.
Bayangkan ini, wak! Mahasiswa memboikot kuliah, orang-orang berteriak di jalanan, bendera Turki berkibar di tengah asap gas air mata, dan di balik semua itu, Erdogan duduk di kursi kebesarannya, menonton dari layar TV 80 inci, mungkin sambil menyeruput teh Turki dan berpikir, “Ah, ini hanya badai kecil.”
Polisi Turki tentu tidak tinggal diam. Lebih dari 1.130 orang sudah ditangkap, termasuk beberapa wartawan. Wartawan? Iya, karena menulis berita di Turki sekarang mungkin setara dengan berlatih parkour di medan perang. Salah ketik sedikit, bisa-bisa ente sudah dijemput mobil hitam tanpa plat nomor.
Gas air mata sudah jadi udara segar di Istanbul dan Ankara. Beberapa pengunjuk rasa bahkan mulai menyiapkan masker dan kacamata renang sebagai perlengkapan demo standar. Peluru karet? Ah, itu sudah jadi bagian dari hiburan rakyat.
Sementara itu, nilai mata uang lira terus terjun bebas. Kalau ente berpikir harga kopi di kafe favorit sudah mahal minggu lalu, tunggu sampai minggu depan, mungkin harga segelas kopi bakal setara dengan satu bulan gaji seorang pegawai negeri.
Erdogan tentu tidak tinggal diam. Dalam pidato resminya di televisi, dia menyebut demonstrasi ini sebagai “gerakan kekerasan.” Dia menuduh oposisi memprovokasi rakyat. Klise? Tentu saja. Tapi ini Erdogan, dia tahu persis bagaimana memainkan kartu politiknya.
“Kami akan meminta pertanggungjawaban politik dan hukum atas semua kerusakan yang terjadi!” katanya dengan nada tegas, meski dari sorot matanya terlihat jelas kalau dia mulai sedikit lelah.
Analis politik mulai berspekulasi. Kemal Can mengatakan, protes ini sudah melampaui sekadar pembelaan terhadap Imamoglu. Ini adalah luapan ketidakpuasan rakyat yang sudah menumpuk selama bertahun-tahun. Sedangkan Yuksel Taskin, anggota parlemen oposisi, bilang bahwa generasi muda yang sebelumnya cuek kini mulai bangkit. Ya, mereka mulai sadar kalau masa depan mereka tidak akan bisa diselamatkan hanya dengan membuat TikTok atau memposting foto aesthetic di Instagram.
Sekarang kita sampai pada pertanyaan besar, apakah Turki akan tetap menjadi negara demokratis, atau berubah menjadi negara otoriter penuh gaya? Erdogan mungkin masih bisa bertahan untuk saat ini, tapi jika protes terus meluas, bahkan seorang pemimpin sekaliber Erdogan pun bisa goyah.
Tapi satu hal yang pasti, rakyat Turki sedang memberikan pelajaran penting, tidak peduli seberapa kuat seorang pemimpin, jika rakyat sudah bersatu, maka kekuatan itu bisa runtuh dalam semalam. Pertanyaannya sekarang, apakah Erdogan siap menghadapi malam yang gelap dan penuh teror itu?
Atau mungkin, di balik layar, Erdogan sudah mulai menyusun strategi baru, sambil menyeruput teh Turki, tentu saja.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar