Demo Melebar, Erdogan Masih Sabar

Pontianak, PBSN – “Bang, ngapain ngurusin negeri orang. Dalam negeri saja banyak tak genah,” komentar follower saya. Duh, sepertinya saya mesti kerja keras lagi agar semua followers lebih cerdas. Ingin hati mereka juga melek politik global, belum-belum sudah kena skakmat. Padahal, dunia sekarang saling terhubung. Tak ada negara mandiri.

Baik, saya mau ngelanjuti progres terakhir negeri Zahra Gunes, apakah demo rakyat Turki mereda atau semakin panas? Kopi tanpa gula sudah di atas meja, mari kita kupas lagi.

Turki sedang terbakar. Bukan karena musim panas yang menyengat, tapi karena amarah rakyat yang membara di jalanan Istanbul. Ribuan orang tumpah ruah, seperti gelombang laut hitam yang menghantam daratan dengan kekuatan penuh. Di tengah kabut gas air mata dan dentuman peluru karet, terdengar suara rakyat yang menggema ke seluruh penjuru negeri, “Bebaskan Imamoglu!”

Ekrem Imamoglu, sang wali kota yang dicintai rakyat, kini mendekam di balik jeruji besi atas tuduhan korupsi dan terorisme. Tuduhan yang, bagi banyak orang, lebih absurd dari teori bahwa bumi itu datar. Imamoglu sendiri menepis tuduhan itu dengan senyum tipis dan tatapan penuh makna, seperti pahlawan dalam film yang tahu bahwa dirinya sedang menjadi korban konspirasi tingkat dewa.

Polisi berbaris rapi di sepanjang jalan, mengenakan helm dan tameng seperti pasukan Romawi yang siap tempur. Meriam air ditembakkan tanpa ampun, menciptakan hujan buatan yang bercampur dengan gas air mata. Tapi rakyat tak mundur. Mereka maju dengan keberanian yang hanya bisa dibandingkan dengan prajurit Sparta di Thermopylae. “Kalau Leonidas bisa melawan Xerxes, kenapa kami tidak bisa melawan ketidakadilan?” teriak seorang demonstran yang berdiri di atas mobil terbalik, sambil melambaikan bendera Turki yang berkibar gagah di tengah kobaran api.

Ekonomi Turki langsung mengalami serangan jantung. Bursa saham anjlok, Lira terjun bebas seperti bungee jumping tanpa tali pengaman. Bank-bank mulai ketar-ketir, dan para pengusaha restoran kebab mulai menghitung kerugian. Harga tomat melambung, harga roti ikut-ikutan naik, dan tiba-tiba harga satu porsi kebab lebih mahal daripada harga tiket konser internasional. “Ini bukan resesi, ini sudah kiamat ekonomi,” gumam seorang pedagang di Grand Bazaar, sambil menatap kosong pada tumpukan rempah-rempah yang tak laku terjual.

Di balik semua kekacauan ini, Erdogan tetap tenang. Duduk di kursi kekuasaan seperti dewa Olympus yang mengawasi pertempuran di bawahnya. Tatapannya dingin, senyumnya tipis. Ia tahu bahwa ini bukan badai pertama yang dihadapinya, dan mungkin juga bukan yang terakhir. Basis dukungannya masih kuat, para loyalisnya masih setia. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Imamoglu bukan lawan sembarangan. Imamoglu adalah simbol perlawanan, bayangan di balik punggung Erdogan yang terus menghantuinya bahkan di mimpi-mimpi terdalamnya.

Teori konspirasi mulai bertebaran seperti nyamuk di musim hujan. Ada yang bilang CIA ada di balik semua ini. Ada yang menyebut Mossad sudah menyusup ke dalam pemerintahan. Bahkan ada yang percaya bahwa ini semua adalah bagian dari rencana Illuminati untuk menguasai Turki, demi mengamankan jalur minyak dan bumbu kebab terbaik di dunia. “Kalau harga kebab melonjak, kita tahu siapa yang harus disalahkan,” bisik seorang pria tua di sudut pasar, sambil melirik ke arah langit seolah-olah sedang mencari pesawat mata-mata.

Demonstrasi terus berlanjut. Malam hari, Istanbul berubah menjadi lautan cahaya dari ribuan obor dan ponsel yang menyala. Lagu-lagu perjuangan terdengar di setiap sudut kota, berpadu dengan suara sirene dan langkah kaki aparat yang terus merangsek maju. Di tengah kerumunan, seorang pemuda berdiri di atas barikade, memegang foto Imamoglu yang dicetak dalam ukuran raksasa. “Kita tidak akan mundur!” teriaknya, dan massa merespons dengan gemuruh yang mampu membuat dinding Hagia Sophia bergetar.

Ini bukan sekadar protes. Ini adalah revolusi. Ini adalah perang tanpa senjata. Ini adalah pertempuran antara rakyat dan penguasa, antara kebenaran dan propaganda, antara Imamoglu dan Erdogan. Seperti dalam setiap kisah epik, hanya satu yang akan berdiri tegak di akhir cerita.

Turki sedang menulis babak baru dalam sejarahnya, dengan darah, air mata, dan keberanian yang tak ternilai harganya. Dunia hanya bisa menunggu, menahan napas, bertanya-tanya, apakah ini akan menjadi kemenangan rakyat, atau akhir dari sebuah era?

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *