Pontianak, PBSN – Kejadiannya di bulan lalu, namun masih panas. Tepatnya di New York, 21 April 2025. Di hari itu negeri kita seperti ditampar bolak-balik oleh teriakan ingin merdeka. Sambil seruput kopi pagi, yok kita dalami kenapa ada teriakan ingin pisah dari negeri kita menggema di dunia.
Hari itu, dunia tidak hanya menyaksikan matahari terbit di Manhattan, tapi juga menyaksikan matahari kedaulatan Indonesia nyaris dikibarkan ke jurang absurd oleh sekelompok individu yang entah terinspirasi dari film dokumenter, novel distopia, atau sedang mabuk romantisme revolusioner. Di jantung diplomasi dunia, di ruang Sidang Majelis Umum PBB, tempat biasanya kepala negara berdebat soal iklim, perang, dan pajak karbon, tiba-tiba muncul parade dadakan bertajuk “Free Aceh, Free Maluku, Free Papua.”
Sekelompok individu dari Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) dan West Papua Liberation Organization (WPLO) memasuki arena dengan percaya diri seolah-olah mereka adalah delegasi dari republik yang sudah diakui oleh tujuh galaksi dan satu bintang neutron. Mereka mengibarkan spanduk seperti penyanyi rock mengibarkan bendera konser di akhir pertunjukan. Kamera-kamera berkedip, ponsel menyala, dan, dalam waktu kurang dari 24 jam, pose dramatis mereka viral di media sosial. Tak butuh verifikasi fakta. Netizen sudah menobatkan mereka sebagai influencer geopolitik internasional.
Pemerintah Indonesia? Jangan tanya. Reaksi diplomatik bak adegan laga. Cepat, tajam, dan penuh gaya. Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di New York langsung bergerak. Bukan dengan senjata, tapi dengan laporan resmi ke keamanan PBB. Dalam hitungan jam, selebaran dan spanduk-spanduk itu disita. Entah dibakar, disimpan sebagai bukti, atau dijadikan kertas bungkus hotdog, yang jelas, misi mereka “merdeka via TikTok edition” dihentikan dengan telak.
Kementerian Luar Negeri RI pun angkat bicara. Juru bicara Roy Soemirat, diplomat yang mungkin dalam diam sedang menahan tawa, menyebut bahwa tindakan ini adalah bentuk “penyalahgunaan forum internasional”. UNPFII itu forum membahas hak-hak masyarakat adat, bukan panggung untuk melemparkan deklarasi kemerdekaan sambil selfie. Tapi mungkin pelaku aksi ini salah baca brosur. Mereka kira ini festival seni kontemporer, bukan rapat resmi PBB.
Anggota DPR RI juga tak tinggal diam. Junico Siahaan, dari Komisi I, langsung bertanya dengan gaya jaksa sinetron, “Siapa yang kasih mereka izin hadir? Siapa yang verifikasi mereka sebagai representasi masyarakat adat? Apakah UNPFII kini berubah jadi Comic Con separatis internasional?” Sementara itu, Oleh Soleh, dengan nada setegas gendang perang, menyebut bahwa ini adalah ancaman terhadap kedaulatan Indonesia dan harus dilawan dengan seluruh kekuatan hukum dan logika sehat.
Tapi yang paling ironis adalah para peserta resmi forum UNPFII justru melongo. Mereka datang untuk berdiskusi soal tanah adat, eksploitasi sumber daya, dan pelestarian budaya. Tapi malah dapat bonus tontonan seperti parade cosplay kemerdekaan. Mereka geleng-geleng, mungkin berpikir, “Apa ini? Gerakan akar rumput atau pertunjukan sulap politik?”
Padahal forum ini penting. Digelar dari 21 April hingga 2 Mei 2025, UNPFII tahun ini fokus pada implementasi Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Sebuah dokumen sakral bagi komunitas adat global. Tapi semua itu tertutup bayang-bayang spanduk berwarna konfrontatif.
Lalu kita bertanya, kenapa orang ingin merdeka? Banyak alasan. Ada sejarah kolonial, ada eksploitasi ekonomi, ada diskriminasi budaya. Tapi semua itu butuh data, bukan drama. Butuh strategi, bukan spanduk. Timor Timur dulu merdeka, tapi melewati referendum, konflik bersenjata, dan mediasi PBB. Bukan dengan sesi foto di ruang sidang. Sudan Selatan pun lahir lewat proses berdarah dan diplomasi bertahun-tahun, bukan viral satu malam.
Aceh? Sudah punya otonomi khusus, punya dana khusus, bahkan punya bendera sendiri. Papua? Dapat dana triliunan tiap tahun, bahkan lebih banyak dari beberapa provinsi gabungan. Maluku? Tak ada konflik struktural yang masuk radar pemisahan. Tapi memang, dalam dunia post-truth ini, kenyataan kadang kalah oleh narasi penuh air mata dan filter Instagram.
Begitulah dunia hari ini. Di era di mana kedaulatan bisa digugat lewat caption, di mana negara hampir dibubarkan oleh feed, dan revolusi digagas bukan lewat manifesto, tapi lewat algoritma. Namun satu hal pasti, negara tidak bisa dibangun lewat spanduk dan selfie. Kedaulatan bukan konten. Merdeka itu serius, bukan viral.
Selamat datang di era absurd, di mana bahkan Sidang PBB bisa jadi panggung lawakan internasional. Seperti kata orang tua kita, “Kalau tak bisa jaga negara, jangan pula main-main minta negara baru.”
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar