(Problematika UMKM Di Indonesia)
Oleh: Asikin Chalifah
Ketua DPW PERHIPTANI DIY
Beberapa organisasi yang menaungi UMKM menetapkan salah satu misinya adalah membantu agar UMKM naik kelas. Naik dari kualifikasi usaha mikro menjadi usaha kecil, dari usaha kecil menjadi usaha menengah dan dari usaha menengah menjadi usaha besar. “Kurikulum pendidikan” untuk kenaikan kelas UMKM adalah mengacu pada PP Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM yang merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang CIPTAKER. Dalam regulasi tersebut ditetapkan bahwa untuk menjadi pelaku usaha mikro harus memiliki modal usaha maksimum satu milyar rupiah. Modal usaha untuk pelaku usaha kecil adalah lebih dari 1 milyar rupiah hingha maksimum 5 milyar rupiah. Sedangkan untuk pelaku usaha menengah adalah lebih dari 5 milyar hingga maksimum 10 milyar rupiah. Masing-masing di luar modal yang berupa lahan dan bangunan untuk tempat usaha. Selain modal usaha, untuk pelaku usaha mikro harus memperlihatkan hasil penjualan tahunan paling banyak 2 milyar rupiah. Untuk pelaku usaha kecil adalah dari lebih 2 milyar rupiah hingga maksimum 15 milyar rupiah. Sedangkan untuk pelaku usaha menengah adalah lebih dari 15 milyar rupiah hingga 50 milyar rupiah. Selain persyaratan modal usaha, lahan dan bangunan untuk tempat usaha serta hasil penjualan tahunan, untuk kepentingan tertentu maka pelaku UMKM diberikan pengecualian kriteria dan kemudahan-kemudahan seperti diantaranya adalah terkakit dengan omset, kekayaan bersih, nilai investasi, insentif dan disinsentif serta penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
Untuk mempercepat kenaikan kelas UMKM, maka K/L dan multi pihak terkait harus mendorong dan memberikan fasilitasi pada UMKM dengan menggandengkan melalui kemitraan usaha baik dengan pelaku usaha besar maupun BUMN/BUMD terutama dalam mengakses penguatan modal usaha, teknologi, peningkatan kualiras SDM, penyediaan bahan baku, dan pemasaran produk baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Meskipun sempat terpuruk selama pandemi Covid-19 karena berbagai faktor, saat ini kegiatan pelaku UMKM mulai kembali normal. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari dampak positip penerapan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) oleh pemerintah untuk sektor UMKM. Pelaku UMKM dengan jumlah sekitar 99 persen dari total pelaku usaha di Indonesia memang memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai pilar utama dalam pembangunan perekonomian nasional, UMKM setidaknya telah memberikan kontribusi nyata pada pembentukan PDB sebesar 60,5 persen dan dalam penyerapan tenaga kerja sebesar 96,9 persen. Meskipun demikian, hingga kini pelaku UMKM masih menghadapi sejumlah persoalan seperti keterbatasan dalam *mengakses modal usaha, tekonologi, peningkatan kemampuan SDM, penyediaan bahan baku dan pemasaran produk baik di tingkat domestik maupun global. Keterbatasan keterjangkauan penguatan modal usaha tidak hanya dari sumber lembaga keuangan formal/perbankan semata, akan tetapi juga dari sumber pembiayaan non formal dan sumber-sumber pembiayaan lainnya. Dalam keterbatasan akses teknologi adalah termasuk masih rendahnya penerapan digitalisasi baik untuk penguatan tata kelola usaha agar efisien dan efektip maupun dalam pemasaran produk secara _on line (go on line)._ Kesulitan juga masih dihadapi oleh sebagaian pelaku UMKM dalam pemasaran produknya. Indikasi sederhana adalah banyaknya pelaku UMKM memosting produk-produknya melalui aplikasi WhatApps Group (WAG) maupun media sosial lain.
Selain pemerintah, keberadaan beberapa asosiasi yang membawahi UMKM dapat melakukan akselerasi kenaikan kelas UMKM melalui dukungannya dalam membangun jejaring dan mencarikan solusi yang dihadapi oleh pelaku UMKM dari hulu hingga hilir.