Oleh : Hafid Abbas
Mantan Ketua Komnas HAM RI
Setelah menerima pengaduan dari 92 orang mahasiswa korban program ferienjob di Jerman yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di tanah air, Komnas HAM pada 25 Maret 2024, melalui pernyataan persnya, mengemukakan bahwa:
Komnas HAM mendesak aparat penegak hukum (APH) dapat menindak tegas PT SHB dan seluruh pihak yang terlibat dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok magang terhadap 1.047 mahasiswa ke Jerman. Selain itu, jaminan hak atas keadilan bagi korban menjadi dasar pertimbangan APH dalam penanganan kasus ini. Komnas HAM juga meminta LPSK, Pemerintah Daerah, dan pihak kampus untuk memberikan pendampingan terhadap korban.
Desakan ini adalah respons Komnas HAM terhadap pengaduan dan berita viral terkait TPPO terhadap 1.047 mahasiswa dengan modus magang ke Jerman yang dipekerjakan tidak sesuai dengan jurusan dan dieksploitasi. Komnas HAM menempatkan isu TPPO ini menjadi salah satu prioritas lembaga. Untuk itu, penting disampaikan, antara lain:
Pertama, terkait dengan peristiwa tersebut, Komnas HAM mengapresiasi respons cepat KBRI Jerman yang memberikan informasi awal adanya empat mahasiswa korban TPPO dengan modus magang. Peran aktif KBRI Jerman dapat menjadi pembelajaran bagi KBRI lainnya dalam memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, terutama mahasiswa magang yang memiliki kerentanan mengalami eksploitasi. Komnas HAM juga mengapresiasi tindakan cepat yang dilakukan POLRI dalam penanganan kasus tersebut.
Kedua, Komnas HAM mengecam PT SHB yang mengklaim program magang ke Jerman sebagai bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) serta menjanjikan program magang tersebut dapat dikonversikan ke dalam 20 SKS. Komnas HAM menyesalkan dugaan keterlibatan 33 kampus yang juga menjalankan program ini, diantaranya bahkan sudah bekerja sama dengan PT SHB melalui MoU. Kampus diharapkan dapat berperan aktif dalam penyusunan program magang dan kerjasama dengan perusahaan tempat magang yang lebih selektif serta menjalankan fungsi monitoring sehingga mengurangi potensi terjadinya TPPO. Komnas HAM memberikan atensi terhadap belum optimalnya fungsi pengawasan Kemendikbud Ristek, sehingga kasus TPPO berkedok magang dapat terjadi. Sebagai pemegang fungsi monitoring atas kebijakan yang ditetapkan, ke depannya Kemendikbud Ristek harus dapat berperan aktif melakukan monitoring dan evaluasi program-program yang berpotensi mengeksploitasi mahasiswa, termasuk identifikasi rekam jejak dan kualifikasi perusahaan yang menjadi tujuan kerja sama magang.
Ketiga, Komnas HAM merekomendasikan sebagai berikut: Mendorong proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dan mengungkap pihak-pihak yang terlibat, baik secara individu maupun kelembagaan, terutama dari perguruan tinggi; Mendorong Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengevaluasi program kampus dan dugaan keterlibatan 33 perguruan tinggi, termasuk pertimbangan untuk mencabut jabatan akademik yang diemban bila terbukti terlibat; Mendorong Satgas TPPO Pusat untuk memperkuat pencegahan dan menginternalisasi pencegahan TPPO dalam kurikulum lembaga pendidikan; Mendorong Pemerintah untuk memastikan pemulihan terhadap korban; Komnas HAM akan melakukan pemantauan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap atas kasus ini sebagaimana kewenangan yang dimiliki Komnas HAM.
Sesungguhnya, Ferienjob merupakan program kerja bagi mahasiswa pada masa liburan semester, bukan pada masa perkuliahan. Ferienjob tidak pernah bermitra dengan Kemendikbudristek karena merupakan program magang ketenagakerjaan (non akademik) dan bukan program magang akademik dan tidak pernah menjadi bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Kasus fereinjob ini muncul setelah terdapat pengaduan yang disampaikan oleh empat mahasiswa di KBRI Berlin dan di Kepolisian dari satu di antara 39 perguruan tinggi yang mengikuti program Ferienjob, yaitu:
Satu orang mahasiswa yang memiliki komorbid dan mengalami sakit akibat kelelahan fisik maupun mental, dan dirawat di Rumah Sakit yang berakibat pada pemutusan kerja sepihak;
Satu orang mahasiswa yang akhirnya diberhentikan karena jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
Satu orang mahasiswa yang merasa tidak nyaman karena tantangan dan resiko terkait kondisi kerja, finansial dan sosial yang tidak dijelaskan terlebih dahulu sehingga orang tua mahasiswa bersangkutan menyarankan berhenti dan kembali ke Indonesia; dan
Satu orang mahasiswa yang administrasinya sudah lengkap dan tinggal berangkat ke Jerman, namun karena adanya surat dari Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek sehingga pihak Imigrasi melarang yang bersangkutan untuk berangkat ke Jerman.
Salah seorang dari empat orang mahasiswa yang dilaporkan TEMPO (26/03/2024) mengungkapkan kisahnya ketika di Jerman. Ia dua kali masuk rumah sakit dan kerja tak dibayar. Sepulangnya dari ferienjob di Jerman, mahasiswa ini masih menanggung utang dana talangan kampus sebesar Rp 25,8 juta yang belum bisa dibayarnya. Keluarganya juga berutang kepada kerabat untuk melunasi biaya rumah sakitnya Rp 30 juta.
Sebaliknya, oknum dari salah satu di antara 39 perguruan tinggi itu, selain memperoleh KUM untuk percepatan kenaikan pangkatnya, juga ia mendapatkan keuntungan material sebesar Rp48 juta. Uang itu adalah honor sebagai narasumber pada kegiatan Ferienjob (ANTARA,04/04/2024).
Sangat ironis, seperti dilaporkan Kompas, para mahasiswa itu telah dijadikan kuli, dieksploitasi dan ditelantarkan. Ini kisahnya.
“Delapan pemuda menggigil karena kuyup diguyur hujan saat berjalan kaki di tengah gelap dan suhu 4 derajat celsius di Hanover, Jerman, 19 Desember 2023. Mereka adalah para mahasiswa asal Indonesia.”
”Aku sampai nangis karena dingin banget dan super-capek. Malam itu aku habis kerja 11 jam nyortir buah, full berdiri, dan aku lagi datang bulan, kata RM saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (24/3/2024).”
Berdarsarkan realitas dan pengaduan tersebut, Wakil Presiden Ma’ruf Amin bahkan mengutuk perguruan tinggi yang ikut melaksanakan Ferienjob yang dinilai amat memalukan (wapres.go.id, 02/04/2024). Demikian pula Komisi III dan Komisi X DPR RI, KBRI Jerman, Kemlu dan sejumlah kementerian dan lembaga terkait mendukung kerja keras Bareskrim Polri yang telah melakukan penyelidikan dan penyidikan secara profesional dan proporsional dengan kesimpulan:
Bareskrim Polri telah menetapkan 5 orang tersangka yang disinyalir sebagai agen/oknum yang memberangkatkan mahasiswa untuk mengikuti program ferienjob tersebut. Bareskrim Polri telah memeriksa 2 oknum dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta, 1 oknum dari salah satu perguruan tinggi di Jambi dan 2 orang agen yang menangani program Ferienjob di Jerman.
Selain Bareskrim Polri yang telah menetapkan para tersangka dengan dugaan kejahatan TPPO, Perguruan Tinggi yang telah terbukti mengirimkan mahasiswanya sebagai kuli ke Jerman melalui Ferienjob dengan motif untuk memperoleh keuntungan bagi institusinya sungguh patut diduga telah melakukan salah satu pelanggaran HAM seperti yang dirumuskan dalam Undang-undang Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000.
Mahasiswa adalah pihak yang lemah, tugasnya hanyalah belajar untuk memperoleh ilmu dan keahlian di kampusnya, namun jika pimpinan satu perguruan tinggi mengeksploitasi mereka dengan mengirimnya keluar negeri sebagai pekerja kasar, ini wujud penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sehingga memungkinkan terjadinya kejahatan atas kemanusiaan (pelanggaran HAM berat) yang indikatornya: Kejahatan itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, seperti terlihat mahasiswa direkrut dari berbagai fakultas, berbagai program studi, dan didukung oleh seluruh unsur pimpinan perguruan tinggi.
Jika ada pihak dari satu perguruan tinggi yang oknumnya (dosen atau pegawai) telah ditetapkan sebagai tersangka maka pihak yang paling bertanggungjawab atas kasus itu adalah pimpinan perguruan tinggi itu. Oknum bawahan hanyalah pelaksana otoritas pimpinan. Namun, jika bawahan itu telah terbukti berinisiatif melaksanakan sendiri Ferienjob itu, pimpinan perguruan tinggi itu tetap harus bertanggungjawab karena telah melakukan pembiaran (act of omission) terjadinya satu kejahatan di depan matanya sendiri.
Akhirnya, menarik direnungkan tuturan William Scott Downey, seorang ilmuwan dan pengamat peradilan AS di abad ke-20, “Law without justice is a wound without a cure” – Hukum tanpa keadilan bagai luka yang tidak akan pernah sembuh. Berilah keadilan bagi para korban, dan para dosen atau pegawai dari satu perguruan tinggi dengan menghukum pucuk pimpinan perguruan tinggi itu sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas terjadinya segala malapetaka Ferienjob itu.