Oleh: Sumadi Dilla,
Dir.Eksekutif JSI-Sultra, Dosen Komunikasi FISIP UHO
Rilis hasil hitung cepat (quick count) dan exit poll beberapa lembaga survei dan portal hitung suara Pilkada 2024 KPU RI seluruh Indonesia telah selesai. Pun, sidang pleno penetapan Hasil pilkada telah diumumkan KPU masing-masing daerah. Dari proses tersebut menempatkan sejumlah nama pasangan calon gubernur dan bupati/walikota sebagai pemenang. Dari nama pasangan calon Gubernur dan bupati/walikota pemenang yang telah beredar di jagad media, menyisakan beberapa hal yang perlu dipahami dalam perspektif politik saat ini. Secara umum apa yang tampak pada hasil pilkada 2024 kali ini dapat dilihat sebagai fenomena unik perubahan perpolitikan masyarakat dan potret dinamika politik modern, yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami pergeseran pendulum.
Jika selama ini jagad perpolitikan nasional maupun lokal diasuh dan kontrol oleh kekuatan koalisi besar elit politik tertentu, maka saat ini telah bergeser pada eklektik masyarakat. Dengan sebutan lain, dari koalisi besar partai politik, yang notabene berpusat atau didominasi oleh elitisme politik berdasarkan personifikasi figur utama, mazhab politik, ideologi, dan kepentingan ekomoni, beralih pada ekletisme politik, yang bersandar pada kehendak politik masyarakat. Keadaan ini menunjukkan kepada kita, kekuatan hegemoni koalisi besar partai politik yang ditopang elitisme politik nasional, kini telah kehilangan magisnya ditingkat lokal dalam mempengaruhi perilaku pilihan politik warga masyarakat pada Pilkada 2024.
Mencermati fenomena peralihan atau pergeseran dimaksud, kita dapat memahaminya dari dua sudut pandang yang berbeda; Pertama, dinamika politik terhadap konfigurasi dan sirkulasi elit pada kandidat di tingkat nasional sebagai residu politik pilpres dan legislatif 2024, tidak berpengaruh kuat terhadap dinamika politik daerah khususnya komposisi elit pada kandidat pilkada 2024. Hal ini mempertegas proses demokratisasi di negara berkembang khususnya Indonesia, terbukti belum mendukung tesis Huntington (1995) tentang “transplacement” atau Linz dan Stepan (1996) tentang ‘esktrication’, dimana bersatunya rezim penguasa dan oposisi ditingkat nasional memudahkan terjadinya transisi demokrasi di tingkat regional dan lokal. Yang terjadi demokratisasi ditingkat lokal tidak sesuai yang diharapkan; Kedua, perilaku elit melakukan internalisasi tokoh, figur utama dalam koalisa besar partai terhadap salah satu kandidat kontestasi pilkada tidak berbanding lurus dengan harapan masyarakat pemilih yang berkonsekuensi pada minimnya preferensi yang memicu bergesernya prilaku masyarakat dalam memilih kandidat pemimpin yang tersedia. Hal ini terjadi karena dalam proses politik apapun tingkatannya, (pemilu:pilpres, legislatif; pilkada), hasrat kekuasaan lebih menonjol dalam persaingan daripada pengabdian dalam merebut simpati publik. Sebagai contoh, yang menjadi fenomena krusial akhir-akhir ini dalam perhelatan demokrasi baik pemilu maupun pilkada adalah menguatnya politik dinasti dan politik kolegial yang mengikis nilai-nilai demokratisasi. Para kandidat bersama elit, partai politik dan koalisinya alih alih memikirkan isu strategis dan kebutuhan masyarakat pemilihnya, justru terjebak sibuk membangun identitas dan solidaritasnya secara sempit melalui populisme diri dan pelibatan figur-figur utama sebagai sutradara sekaligus pemain politik dalam mendapatkan dukungan suara masyarakat. Pergeseran perilaku politik yang demikian, akhirnya perlahan mulai memperlihatkan sisi kontradiktifnya dengan hipotesis Rifa’i (2005) dan Alfian (2009), tentang budaya perilaku politik ‘patron and klien’ yang begitu kuat mempengaruhi pengambilan keputusan politik masyarakat di Indonesia.
Dengan melihat kedua hal diatas, dan mencermati hasil Pilkada 2024 di beberapa daerah seperti propinsi DKJ/DKI Jakarta, Bali, Yogyakarta, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara (Sultra), sejatinya memberikan pemahaman baik, bahwa proses demokratisasi politik dengan cara-cara tidak populis dengan kehendak rakyat harus ditinggalkan. Pada konteks ini, kita juga dapat memahami bahwa penyatuan unsur kekuatan, baik keberpihakan rezim, koalisi partai besar, oposisi parlemen/non parlemen maupun keterlibatan figur (elit), sebagai sutradara utama pada kandidat pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota, tidak otomatis memperoleh dukungan luas masyarakat. Dengan istilah lain efek domino atau bonus keuntungan tambahan yang dikenal sebagai efek ekor jas (coattail effect) diharapkan terjadi, justru berbalik menggerus kepercayaan publik yang bermuara pada minimnya dukungan suara yang diperoleh kandidat.
Dinamika Split Ticket Voting
Dengan mencermati dan memahami fakta pilkada 2024 yang telah berlangsung, maka kontestasi pilkada di berbagai daerah Indonesia termasuk di Sulawesi Tenggara, tidak hanya dipandang sebagai ajang kandidat dalam show power elit dengan visi politik yang kuat dalam memperoleh kekuasaan, tetapi lebih dari itu memperlihatkan munculnya perbedaan preferensi dan perilaku pemilih antara pemilu (pilpres dan legislatif) dengan pilkada. Perbedaan preferensi dimaksud bersandar pada alasan rasional masyarakat, bukan partisan, dinasti ataupun kolegial. Sedangkan perbedaan perilaku politik merujuk pada adanya pembelahan pilihan politik masyarakat. Pada konteks inilah sesungguhnya telah terjadi fenomena unik yang di sebut ‘split ticket voting’ pada Pilkada 2024. Menurut beberapa sumber ilmiah fenomena Split Ticket Voting akan menguat atau melemah jika masyarakat (pemilih) diperhadapkan oleh beberapa jenis kontestasi demokrasi seperti pemilu (pilpres-legislatif) dan pilkada. Pada pilpres dan legislatif misalnya, ‘split ticket voting’ akan melemah, dimana preferensi sangat terbatas dan perilaku pemilih terkonsolidasi pada kekuatan elit dan partai pengusung dalam mengambil keputusan politik. Disini masyarakat pemilih dihadapkan pada pilihan informasi yang minim, sehingga keputusan politik yang diambil terhadap kandidat menggunakan “model low information” hanya berdasarkan basis partai pemilih. Sebaliknya, pada perhelatan pilkada Split ticket voting akan menguat, dimana preferensi dan perilaku pemilih sangat dominan dalam menyeleksi kandidat yang ideal berdasarkan pertimbangan politik secara rasional. Masyarakat pemilih yang seperti ini bersandar pada ‘model high information’ terhadap kandidat berdasarkan rekam jejak, isu dan harapan masyarakat umum.
Dinamika munculnya Split ticket voting dimaksud dapat ditelusuri dari kemenangan Prabowo-Gibran pada pilpres yang diusung partai Gerindra, berbeda dengan kemenangan PDI-P pada pemilu legislatif di parlemen. Demikian juga ketika melihat pemenang pilkada, banyak para kandidat yang tidak berasal dari partai pengusung pemenang pilpres dan pemilihan legislatif. Penjelasan mengenai pembelahan pilihan politik (split ticket voting) yang demikian, berdasarkan laporan beberapa lembaga survei banyak disebabkan oleh kejenuhan politik, ketiadaan pembeda ideologi antar partai, dan minimnya informasi kandidat. Apalagi pelaksanaan satu pemilihan dengan pemilihan lainnya berada dalam satu waktu sekaligus (pilpres-legislatif dan pilgub-pilbup/Pilwali) sehingga masyarakat membuat pilihan yang berbeda untuk jenis pemilihan yang berbeda tersebut.
Split Ticket Voting dan Efek Elektoral Kandidat
Dalam beberapa kasus pilkada di Indonesia, fenomena split ticket voting seringkali memberi pengaruh kuat pada efek elektoral kandidat. Pada satu sisi pengaruh dimaksud bersifat negatif pada satu kandidat, dan disisi lain, pengaruh tersebut dapat bersifat positif atau menjadi blassing in disguise bagi kandidat lain. Karenanya, dilihat dari kedua sifat pengaruh tersebut, memiliki efek elektoral yang berbeda, yang tidak diperhitungkan sejak awal oleh para kandidat. Ketidakmampuan memprediksi dan menganalisa hal ini menyebabkan tim sukses dan kandidat kepala daerah tumbang dan kalah dari kandidat lainnya dalam pilkada.
Banyak alasan yang dapat menjelaskan fenomena ini menjadi anomali politik bagi partai, kandidat dan tim sukses dalam kontestasi pilkada 2024;
Pertama, adanya anggapan beberapa kandidat bersama partai pengusungnya memiliki dukungan suara mayoritas berkat koalisi partai di DPRD hasil pemilu legislatif 2024. Dengan posisi itu, sadar atau tidak mereka terjebak masa bulan madu politik dengan asumsi memiliki basis pemilih yang besar di masyarakat. Anggapan ini keliru dan tidak progresif jika melihat tren migrasi dukungan suara pemilih dari konstituen partai politik diberbagai level pemilihan yang berbeda-beda. Hasil Pilkada propinsi Daerah Khusus Jakarta misalnya, menurut laporan Indo polling (11/2024) menyebutkan, terdapat perpindahan suara konstituen partai seperti PKS, PKB, Gerindra dan Nasdem ke pasangan Pram-Rano, menjadi bukti mempengaruhi hasil akhir elektoral. Kemenangan pasangan Pram-Rano yang semula tidak pernah diperkirakan banyak pihak termasuk hasil survei, menunjukkan adanya preferensi pemilih partai terbelah. Demikian juga hasil Pilkada gubernur Sulawesi Tenggara, kemenangan Andi Sumangerukka- Hugua (ASR-HUGUA) yang diusung partai Gerindra, PAN, Hanura dan PPP menunjukkan adanya pergerakan suara pemilih atau pembelahan suara partai. Jurnal Survei Independen (JSI-Sultra, 11/2024) menyebutkan pemilih partai Nasdem, Golkar dan PDI-P yang notabene memiliki suara terbanyak di DPRD Sultra, juga mengalihkan dukungannya ke pasangan ASR-Hugua. Padahal dilihat dari dukungan partai di DPRD hasil pemilu legislatif ASR-Hugua hanya memiliki 404.172 suara, kalah dari Lukman Abunawas-La Ode Ida (LA-IDA) yakni 460.037 suara, dan Tina Nur Alam-Ihsan Taufik Ridwan (Tina-Ikhsan) yang mencapai 457.590 suara.
Kedua, faktor ketidakpuasan pemilih terhadap trek record dan kinerja beberapa kandidat gubernur. Bahkan terkadang pemilih tidak menemukan solusi yang tegas antara dukungan mayoritas partai, dengan harapan masyarakat sehingga memicu meningkatnya swing voters dan undecided voters. Saat pemilih tidak menemukan solusi, maka mereka cenderung menentukan kriteria atau preferensi pilihan berdasarkan profiling, program kerja dan kontribusi sosial kandidat. Dalam keadaaan tersebut, banyak pemilih merubah pilihannya pada detik-detik akhir hari pemilihan.
Ketiga, karakter dan performa kandidat, yang mana dalam beberapa pilkada belum menjadi fokus perhatian yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan dan keterpilihan kandidat. Sikap tenang, humanis dan solutif dari kandidat merupakan faktor penentu dalam memperoleh dukungan suara pemilih. Sebaliknya kandidat yang hanya mengumbar prestasi masa lalu, kritis dan menyerang kandidat lainnya tidak mendapatkan tempat di hati masyarakat. Beberapa temuan survei seperti Litbang Kompas, Indo Polling, JSI-Sultra mengungkap bahwa, karakter kandidat yang lebih mengandalkan kekuatan basis dukungan pemilih kultural kurang berefek, sehingga memberikan perspektif berbeda disetiap daerah, yang membuat peta politik dan efek elektoral semakin kompleks.
Ke-empat, Strategi kampanye yang kontekstual dan inklusif. Dilihat dari materi pesan kampanye politik, beberapa kandidat masih mengandalkan hal-hal normatif, bahkan narasi glorifikasi (kehebatan) diri, demonisasi (keburukan) kandidat lain, dan mitos-mitos politik berupa janji sangat dominan, dibandingkan dengan program kerja terukur, kontekstual dan inklusif. Disini tampak terlihat beberapa kandidat sibuk membangun identitas personalnya melalui glorifikasi yang penuh kesuksesan, dan melalui demonisasi menganggap buruk atau merendahkan kandidat lainnya secara sepihak. Sementara melalui mitos politik kandidat hanya mengumbar janji dengan tujuan permainan emosi pemilih awam.
Dengan demikian, kampanye yang tidak berbasis persoalan dasar dan harapan masyarakat secara berkeadilan mendorong pemilih mengalihkan suaranya kepada kandidat lainnya.
Implikasi dan Pelajaran Demokratisasi Politik
Berdasarkan uraian diatas, kini dapat dipahami bahwa fenomena split ticket voting pada pilkada 2024, menjadi kenyataan empiris yang menunjukkan perubahan lanskap politik nasional dan lokal. Perubahan dimaksud meliputi beralihnya preferensi dan perilaku pemilih yang semakin kritis dan rasional. Pemilih konstituen partai politik tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang absolut, alias terikat pada salah satu partai politik, melainkan fleksibel dan cair. Kontestasi politik baik pilpres, pileg dan pilkada memiliki efek elektoral yang berbeda sehingga memerlukan tindakan yang berbeda pula. Sikap selektif masyarakat pemilih dalam memilih kandidat kepala daerah berdasarkan pertimbangan rasional merupakan bentuk partisipasi aktf yang hakiki, sekaligus sikap pendewasaan demokrasi politik. Akhirnya, kenyataan ini menjadi pelajaran berharga dan penting semua pihak bagi pengamat, peneliti, aktor politik dan masyarakat terhadap kompleksitas perilaku pemilih dan peta perpolitikan nasional dan lokal yang menawarkan perspektif berbeda dalam peradaban demokratisasi politik di Indonesia.