Oleh Ana Mustamin
Anggota Dewan Pakar Brain Society Center (BS Center)
PERUBAHAN logo – entah logo produk, institusi, wilayah, atau logo kegiatan; selalu menarik perhatian saya sebagai praktisi sekaligus akademisi komunikasi. Dalam dunia komunikasi, logo selalu dipahami sebagai pesan. Pilihan bentuk, warna, tipografi, bahkan ukuran font, serta keseluruhan konsep disain adalah pesan komunikasi. Pesan itu bisa diartikan sebagai identitas, tujuan yang ingin dicapai pemilik logo, atau kombinasi dari keduanya.
Logo-logo dengan konsep disain logotype – monogram/lettermark, wordmark, atau emblem – umumnya adalah logo-logo yang hanya menunjukkan identitas atau penanda. Sementara logo-logo yang memadukan antara logotype dan logogram (kombinasi bentuk, huruf, dan simbol) seperti pictorial mark, abstrack mark, hingga logo maskot, adalah logo dinamis yang umumnya lebih dari sekadar identitas. Dalam konsep disain yang terakhir, ada pesan yang lebih kompleks dari sekadar penanda. Ia biasanya merefleksikan visi dan misi, impresi dan ekspresi yang ingin dicapai, hingga pada pesan tersembunyi pemilik merek.
Logo-logo monogram umumnya menyajikan tafsir atau asosiasi makna tunggal, hanya merujuk pada nama/penanda pemilik logo. Para perancang logo jenis ini umumnya lebih fokus pada pilihan jenis font dan warna – biasanya dengan sedikit adaptasi untuk memunculkan keunikan, dan tentu tanpa mengabaikan estetika. Fokus lainnya adalah faktor legible, tingkat keterbacaan sekiranya logo tersebut diaplikasikan dalam berbagai media grafis.
Logo-logo yang memadukan bentuk/simbol dan huruf, disainnya jauh lebih kompleks. Perancang logo jenis ini sensitif terhadap perkembangan tren disain, kebaruan bentuk, tanpa melupakan visi dan misi yang ingin dicapai oleh pemilik logo. Logo jenis ini juga dinamis, karena memunculkan asosiasi makna dan membuka ruang tafsir seluas-luasnya bagi yang melihat logo tersebut. Ada ekspresi dan impresi tertentu yang ingin disajikan perancang dan pemilik logo, yang kemudian bisa dirasakan oleh mereka yang melihat atau menggunakan merek dari logo tersebut.
Logo monogram umumnya menyentuh kesadaran kognitif kita, kesadaran rasional. Sementara logo-logo yang berkontur dan dinamis umumnya membidik kesadaran afektif kita – sisi emosional pengguna atau pun yang melihat.
Logo dinamis tidak selalu menuntut kita untuk memahami arti dan bentuk logo. Tapi logo jenis ini lebih menanamkan impresi – ada bagian-bagian dari logo, entah warna, bentuk atau huruf – yang melekat dan tersimpan dalam memori kita.
Logo Halal untuk Apa?
Saya kira ini pertanyaan paling penting ketika gagasan mengubah logo “halal” mengemuka.
Menilik disain terbaru dari logo “halal”, jelas ini adalah logo dinamis yang memadukan antara bentuk, huruf dan simbol.
Secara subjektif, saya menyukai logo dengan tampilan sederhana ini. Dari disain ini kita bisa menemukan banyak tafsir dan asosiasi makna. Bagi orang Jawa, pasti bentuk logo ini sangat akrab, karena menyerupai gunungan yang sering menjadi latar dalam pementasan wayang. Sebagian teman-teman saya melihat disain itu serupa kubah masjid. Pilihan huruf juga memunculkan impresi macam-macam. Garis-garis dimaknai sebagai simbol “hablumminallah” (garis vertikal) dan “hablumminannas” (garis horizontal). Dan yang menarik, disain ini menunjukkan paduan antara budaya Islam dan Nusantara.
Tapi sayangnya, semua tafsir itu tidak kita butuhkan dalam konteks akidah. Bagi umat Islam, urusan halal dan haram tidak membutuhkan berbagai tafsir. Halal-haram dipisahkan oleh garis yang tegas, harga mati. Hanya sedikit pengecualian sesuatu yang haram berubah menjadi halal, dan itu pun diatur secara tegas dalam kitab suci Al Qur’an.
Bagi umat Islam, tidak boleh ada keraguan atau ketidakjelasan untuk membedakan yang haram dan yang halal. Dan karena itu, logo “halal” sedapat mungkin ditampilkan dengan disain sederhana, jelas, dengan tafsir tunggal, bisa dibaca dan dipahami oleh orang awam sekalipun.
Apalagi umat Islam Indonesia tidak mengenal semua bentuk huruf yang digunakan dalam menuliskan aksara Arab. Masyarakat muslim juga tidak memiliki sense of art yang sama, atau memiliki kemampuan tafsir yang serupa. Umat Islam Indonesia adalah masyarakat muslim yang memanjang dari yang buta huruf hingga cendekiawan atau sufi, dari yang buta seni hingga seniman tingkat dewa, dari yang pemahaman agamanya cetek hingga alim ulama.
Dan urusan halal-haram adalah urusan keseharian. Dari makanan hingga perilaku. Ini bukan persoalan selera disain, bukan juga soal dukung-mendukung pencetus gagasan perubahan logo. Ini adalah standar minimal yang dimiliki oleh umat Islam dalam berperilaku. Jika misalnya pemahaman masyarakat muslim Indonesia minim terkait dengan syariah, minimal mereka bisa membedakan dengan mudah antara barang halal dan haram yang dijajakan di lapak.
Logo “halal” mungkin tidak harus didisain murni monogram. Ada adaptasi seperti logo berkontur pada umumnya. Tapi logo ini harus dibingkai dengan misi yang jelas, misi tunggal, pembeda antara yang halal dan haram, dan penanda itu harus mudah dikenali dan dipahami semua kalangan muslim, tanpa kecuali.
Dengan logo dan tulisan “halal” yang tidak akrab dengan masyarakat muslim Indonesia, dengan penanda yang memiliki interpretasi bentuk yang beragam; apa yang ingin dicapai pemilik logo – dalam hal ini Kementerian Agama RI, dengan merilis logo baru ini? ***