Oleh Ana Mustamin
(Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Pola Asuh yang Keliru
Tahun 1999-2000, saya ingat, adalah titik balik Bumiputera. Ketika itu krisis moneter baru saja menghantam perekonomian dunia. Kondisi keuangan Bumiputera berdarah-darah, lantaran manajemen Bumiputera di masa lalu menerbitkan banyak sekali polis dengan mata uang US dollar tapi tidak dibarengi dengan investasi berdenominasi dollar. Polis dollar adalah peluang ketika terjadi krisis kepercayaan terhadap mata uang rupiah pasca senering tahun 1965. Tapi peristiwa KNOP tahun 1978 dengan perubahan dari kurs tetap menjadi kurs mengambang, ditambah krisis moneter tahun 1997-1999, mengubah peluang itu menjadi ancaman.
Direktur Utama Bumiputera saat itu, Suparwanto, menyatakan bahwa kondisi likuiditas Bumiputera pasca krisis moneter, mengkhawatirkan. Ia menyebut kisaran likuiditas yang hanya sanggup menopang operasional perusahaan selama 60 hari ke depan. Perusahaan Mutual tidak memiliki mekanisme penambahan modal, Mutual juga tidak punya pemegang saham yang bisa mengucurkan uang segar. Ini bukan Perseroan Terbatas, sehingga manajemen harus memutar otak agar perusahaan ini tetap bisa hidup dan – terutama – membayar kewajiban kepada pemegang polis. Dalam sejarah krisis di masa lalu, Bumiputera tidak memiliki catatan hitam mengenai kewajiban klaim.
Tahun 1999, ketika krisis moneter belum pulih, Risk Based Capital (RBC) pertama kali diterapkan regulator untuk mengukur kesehatan keuangan perusahaan asuransi. Manajemen saat itu sudah mengakui bahwa dengan pengukuran RBC, terjadi mismatch antara aset dan libilitas lebih dari 2 triliun rupiah. Tapi manajemen Bumiputera tampaknya tidak terlalu khawatir, mengingat ini bukan pertama kali Bumiputera mengalami ketidakseimbangan antara aset dan kewajiban. Sejak lahir, Bumiputera sudah insolven jika diukur menggunakan RBC. Bumiputera juga sudah berkali-kali jatuh-bangun dalam perlbagai krisis yang menimpa republik ini, mulai dari krisis tahun 1945, 1965, 1978, 1999, dan 2008. Manajemen yakin Bumiputera akan tetap eksis, selama bisa menjaga kepercayaan pemegang polis.
Tapi manajemen Bumiputera rupanya salah antisipasi. Zaman berubah. Jika selama ini mereka berhasil memperbaiki kinerja keuangan secara gradual, kali ini mereka ‘tersesat dalam ketidakpahaman’. Tahun 2002, untuk pertama kalinya media massa merilis rating perusahaan asuransi. Dan dalam rating itu, Bumiputera terlempar di urutan terbawah dalam penilaian kinerja perusahaan asuransi. Infobank yang merilis pertama kali rating asuransi, bahkan menyebut Bumiputera terancam bangkrut. Berita ini seperti petir di siang bolong bagi ribuan karyawan dan agen se Indonesia. Mereka geger. Bagaimana mungkin Bumiputera yang puluhan tahun menjadi pemimpin pasar industri asuransi jiwa mendadak terancam bangkrut?
Saya menandai ini sebagai awal keterpurukan Bumiputera. Saya ingat, manajemen waktu itu berkali-kali bicara di depan karyawan dan agen, meyakinkan mereka bahwa ini keliru. RBC bukan parameter yang tepat untuk mengukur kinerja Bumiputera. Bagaimana mungkin perusahaan yang tidak berbasis modal, tidak memiliki mekanisme penambahan modal, namun kinerjanya diukur dengan parameter yang seluruhnya dikaitkan dengan modal? Insovensi adalah persoalan seumur hidup Bumiputera, jika pengukurannya menggunakan RBC. Karena setiap kali krisis (baik krisis ekternal maupun internal, makro atau mikro), manajemen tidak mungkin menyulap performa keuangan seketika untuk bisa ditampilkan ke media dengan RBC yang memukau. Bumiputera butuh waktu untuk melakukan ‘self healing’, mengobati dan memulihkan ‘luka’ dengan kekuatan sendiri, karena tidak mungkin mengharapkan adanya suntikan modal.
Tapi harapan tinggal harapan. Media dan regulator sudah memvonis Bumiputera sakit. Yang namanya ‘orang sakit’, ya perlakuannya sebagaimana orang sakit, lengkap dengan segala terapi dan obat. Orang sakit juga dibatasi ruang geraknya. Produk baru dibatasi, investasi dibatasi, ekspansi dibatasi. Yang tak kalah fatal, media dan regulator tidak mau tahu jika perusahaan ini memiliki ‘jenis kelamin’ berbeda. Regulator bertindak seperti orang tua yang enggan dan repot mengasuh anak perempuan, dan lebih memilih memperlakukan anak perempuannya seperti anak laki-laki. Dan ketika performa sebagai ‘laki-laki’ tidak terpenuhi, segala kesalahan
ditimpakan ke anak perempuan ini. Seumpama manusia, Bumiputera mengalami sakit ganda, fisik dan psikis.
Pada perkembangan selanjutnya, meski manajemen sudah berakrobat melakukan berbagai upaya untuk mengatasi rasa sakit, tokh Bumiputera faktanya tidak berubah ‘kelamin’. Jadi apapun terapinya, Bumiputera tidak akan pernah sembuh selama ia terus diperlakukan layaknya PT. Dan RBC akhirnya terus memburuk, manajemen Bumiputera lantas dituding tidak becus, karena seringkali tidak sejalan dengan arah perintah regulator. Manajemen Bumiputera berkali-kali harus rela mendapatkan surat peringatan dan sanksi.
Kombinasi antara ‘pola pengasuhan’ regulator dan pemberitaan media yang memengaruhi kepercayaan masyarakat, tentu saja membuat permasalahan semakin kompleks. Karena pada setiap surat peringatan, ada sanksi-sanksi yang mengikuti, dan pada setiap pemberitaan ada stigma yang menyertai. Dan di tengah ketidakberdayaan itulah, Bumiputera harus bersedia ‘diasuh’ oleh orang-orang luar yang ditunjuk BPA/regulator, orang-orang yang tetap dengan keyakinan penuh tengah mengasuh seorang anak berjenis kelamin laki-laki.
Mengapa kesalahkaprahan ini berpuluh tahun bisa terus berlangsung? Jawabannya, karena kekosongan regulasi! Semua tindakan ‘pengasuhan’ lahir dari keyakinan tentang Mutual sebagai perusahaan dengan ‘jenis kelamin’ yang sama dengan PT.
Pintu-pintu yang Terbuka
Tahun 2016, ketika OJK memutuskan untuk memberlakukan statuter Bumiputera, saya memahami itu sebagai upaya mencoba melakukan demutualisasi. Alasannya sangat mudah ditebak, ketimbang capek-capek mengurus satu perusahaan Mutual, lebih baik dialihkan menjadi Perseroan Terbatas.
Tapi saya juga sudah bisa menduga upaya ini akan gagal total. Mengapa? Lagi-lagi akan terbentur pada persoalan regulasi, meskipun konsultan dan Pengelola Statuter saat itu sudah mencoba ‘menabrak’ semua aturan internal Bumiputera, termasuk Anggaran Dasar. Dalam AD Bumiputera, memang tersedia pintu untuk membubarkan perusahaan. Tapi dalam AD, tidak tersedia peraturan bagaimana mengkonversi perusahaan Mutual menjadi Perseroan Terbatas – bagaimana mengalihkan hak-hak pemegang polis sebagai pemilik perusahaan menjadi pemegang saham, dan bagaimana mengkonversi polis mereka menjadi lembar saham.
Aturan tersebut hanya mungkin ada dengan membuat regulasi yang merupakan turunan dari UU Mutual dan UU PT sekaligus. Di negara-negara yang mengakui badan usaha Mutual – dimana regulasi Mutual dan PT setara dan diatur dengan baik, saya kira tersedia petunjuk bagaimana melakukan demutualisasi. Atau sebaliknya, remutualisasi. Demutualisasi dan remutualisasi dilakukan selayaknya berbasis peraturan, bukan dengan jurus mabuk.
Ketiadaan UU Mutual juga menjadi persoalan tersendiri di tubuh BPA (Badan Perwakilan Anggota) – lembaga tertinggi di Bumiputera yang merupakan representasi pemegang polis sebagai pemilik perusahaan. Tanpa regulasi UU yang menjadi payung hukum Anggaran Dasar, maka BPA menjadi lembaga tertinggi sekaligus lembaga superbody. Karena AD dirumuskan BPA, dan bisa diamandemen kapan saja sesuai kebutuhan. Dengan kekuasaan penuh BPA menentukan warna perusahaan, akan berimplikasi pada persoalan tata kelola dan membuka banyak pintu untuk intervensi pihak-pihak yang tidak berkepentingan melalui penetapan
pucuk pimpinan (direksi dan komisaris) dan pengelolaan investasi. Dulu, intervensi seperti ini mungkin relatif kecil, mengingat Bumiputera masih kecil. Tapi sejalan berjalannya waktu, dan setelah meraksasa dengan aset puluhan triliun, kemungkinan intervensi ini menjadi persoalan tersendiri.
Tanpa regulasi UU, maka aturan tata kelola di Bumiputera adalah tata kelola yang juga lahir dari tafsir. Jadi, jika kemudian ada yang menyatakan bahwa Bumiputera memiliki tata kelola yang buruk, maka pertanyaannya adalah menggunakan ukuran apa? Bukankah tidak ada regulasi yang bisa dijadikan acuan untuk menilai tata kelola yang baik di perusahaan Mutual?
Jeruk Makan Jeruk
Pada Sabtu, 5 Maret 2022 lalu, media kembali diramaikan dengan pemberitaan tentang pemegang polis Bumiputera yang mengajukan ijin ke OJK untuk mem-PKPU-kan Bumiputera. PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) adalah solusi yang ditawarkan ke perusahaan terkait dengan masalah finansial, termasuk utang-piutang antara debitor dan kreditor. PKPU yang diatur dalam UU nomor 37 Tahun 2004, prosesnya beda-beda tipis dengan pemailitan.
Saya tidak paham, ide PKPU itu datang dari mana. Saya bukan praktisi hukum. Tapi dalam konteks pemahaman saya terhadap perusahaan Mutual, ini cukup mengganggu pikiran. Dalam proses PKPU ini, siapa yang akan bertindak sebagai kreditor dan siapa yang menjadi debitor? Siapa berhutang kepada siapa? Bukankah perusahaan Mutual pemiliknya adalah pemegang polis sendiri? Ini peristiwa ganjil yang mungkin baru terjadi di Indonesia: pemilik perusahaan menggugat perusahaannya sendiri. Jeruk makan jeruk.
Saya menggarisbawahi ini lagi-lagi merupakan implikasi dari ketiadaan UU Mutual. Di tengah masyarakat yang “PT minded” dan keterbatasan mengakses informasi tentang Mutual; sangat sedikit pemegang polis yang aware, bahwa mereka adalah pemilik perusahaan (meski tercantum dalam polis mereka). Mereka tidak sepenuhnya memahami bahwa sebagai pemilik usaha, pemegang polis memiliki konsekuensi logis sebagaimana pemilik usaha dalam bentuk lain: untung atau rugi. Ketidakpahaman inilah yang menyulitkan untuk memberlakukan prinsip Mutual yang utama: “sharing the pain, sharing the gain”.
Jika kita membandingkan dengan pasar modal misalnya, untung dan buntung adalah hal biasa.
Pelaku dan investor sama-sama memaklumi tentang konsekuensi fluktuasi nilai saham. Mengapa? Karena negara mengatur melalui UU Pasar Modal dan turunannya. Tidak demikian dengan Mutual. Bumiputera akan kesulitan mengeksekusi prinsip “sharing the pain, sharing the gain” hanya berbekal Anggaran Dasar – yang notabene adalah dokumen internal perusahaan. Karena meski pemegang polis sebetulnya adalah ‘kalangan internal’ di perusahaan Mutual, tapi awarenesss dan cara pandang mereka tetap cara pandang Perseroan Terbatas, di mana pemegang polis adalah pihak eksternal, konsumen. Tindakan yang merugikan pemegang polis akan dianggap sebagai tindakan sepihak perusahaan.
Jadi jika Infobank menuding pejuang UU Mutual sebagai pihak berhalusinasi, saya kira tafsir kitalah yang selama ini ‘halu’ dalam menilai perusahaan Mutual. Jika Infobank mempertanyakan apakah dengan lahirnya UU Mutual akan membuat persoalan Bumiputera langsung tersolusi saat ini, memang tidak. Tapi kekosongan regulasilah yang membuat seluruh persoalan menjadi rumit dan menimbulkan karut-marut di Bumiputera. UU Mutual seharusnya bisa dipandang sebagai selusi mendasar untuk memperbaiki operasional dan tata kelola Bumiputera ke depan, termasuk mengoreksi ‘pola asuh’ regulator. Apalagi jika kemudian UU Mutual ini diikhtiarkan untuk membuka kran berbagai usaha dengan menggunakan prinsip dan badan usaha bersama, sebagaimana di negara-negara Scandinavia yang perusahaan Mutualnya sangat maju. Bukankah bentuk badan usaha ini amanah Pasal 33 UUD 1945? Lagipula, di Indonesia banyak sekali usaha dengan basis gotong-royong, usaha yang dibiayai oleh anggota (member), dan bukan oleh kapitalis. Model pengelolaan transportasi online yang marak saat ini sejatinya adalah usaha bersama. Anak-anak milenial juga sangat gandrung dengan kerja keroyokan, crowdfunding dan inovasi menggunakan open source. Semua itu bisa diwadahi dalam bentuk badan usaha Mutual tanpa keharusan menyetor modal besar sebagaimana di PT.
Dengan kehadiran UU Mutual, saya percaya, tidak akan ada lagi ‘halu’ di antara kita. ***
(SELESAI)
*) Ana Mustamin, Dewan Pakar Brain Society Center, Direktur SDM dan Umum AJB Bumiputera 1912 Periode 2016-2018