Oleh : Hafid Abbas
Mantan Dirjen HAM dan Ketua Komnas HAM RI ke-8
Sungguh satu peristiwa bersejarah pada 20 Oktober 1999, ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI ke-4 pada 21 Oktober 1999, beliau membentuk Kementerian Negara urusan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengangkat Hasballah M Saad putra Aceh sebagai menteri di Kabinet Persatuan Nasional. Waktu itu, sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Negeri Jakarta, saya juga diangkat oleh Presiden Gus Dur sebagai Deputi Menteri pada Kementerian HAM itu.
Setelah kejadian itu berlalu tepat seperempat abad silam, pada 21 Oktober 2024, setelah Jend TNI (Pur) Prabowo Subianto terpilih sebagai Presiden RI ke-8, beliau membentuk juga Kementerian HAM dan mengangkat Natalius Pigai, putra Papua dan mantan Komisioner Komnas HAM sebagai Menteri di Kabinet Merah Putih.
Setelah kedua lintasan peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu tepat seperempat abad, terlihat dinamika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah teratasi lewat mekanisme dialog damai di Helsinki antara Pemerintah RI dengan GAM. Sementara, masalah gerakan separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua terlihat belum ada tanda-tanda akan segera berakhir, meski masalah Aceh jauh lebih rumit.
Sejak MoU Helsinki berhasil ditandatangani oleh kedua belah pihak, Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah RI dan Malik Mahmud dari pihak GAM, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, sejak itu, tidak terlihat lagi ada tetesan darah yang jatuh sia-sia membasahi tanah Aceh. Meski sebelumnya, selama konflik tiga dekade (1975-2005), seperti dilaporkan oleh Amnesty International (2015) terdapat 2-3 orang korban meninggal setiap hari baik dari kalangan penduduk sipil atau dari TNI- Polri atau dari pihak GAM.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba pada 24 Desember 2004, Aceh dilanda tsunami yang amat dahsyat. Dilaporkan oleh PBB (UN Press Release 14/07/2005) bahwa terdapat 240 ribu korban jiwa, lebih setengah juta penduduk Aceh kehilangan tempat tinggal seketika, dan berdampak buruk pada kehidupan 158 juta penduduk lainnya yang tersebar di 14 negara yang turut dilanda tsunami.
Selain korban jiwa yang amat besar itu, diperkirakan kerugian ekonomi Aceh berkisar USD 7,7 miliar (ScienceDirect, 06/12/2021).
Di balik bencana maha dahsyat itu, tidak terduga, tokoh-tokoh GAM terbuka nurani dan pikirannya melakukan dialog damai dengan Pemerintah RI. Atas prakarsa Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, dialog damai Aceh di Helsinki dapat terlaksana. Setelah melalui proses dialog yang panjang antara kedua pihak, yang dimediasi oleh Presiden Martti Ahtisaari, akhirnya kesepakatan damai terwujud. Tiga tahun kemudian, pada 2008, Ahtisaari mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian atas perannya memediasi terwujudnya perdamaian itu.
Penyelesaian Masalah Papua
Belajar dari pengalaman penyelesaian masalah Aceh yang begitu rumit, namun semua konflik dan bencana yang dialami dapat dilewati dengan tegar tanpa ada lagi gejolak-gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan yang mengganggunya sejak penandatanganan MoU Helsinki. Jika dihitung, sejak MoU Helsinki hampir dua dekade silam telah menyelamatkan 14600-21900 jiwa, dan mencegah keterpurukan sosial ekonomi yang lebih besar apabila konflik dibiarkan berkepanjangan.
Untuk menyelesaikan masalah Papua jika akan ditempuh melalui cara damai, kelihatannya, terdapat tiga hal yang dapat dipetik dari Aceh.
Pertama, pihak Pemerintah RI dan OPM dapat mengadopsi model MoU Helsinki dengan menghadirkan mediator yang independen dari dalam atau luar negeri. Kesepakatan Helsinki hanya memuat enam bagian, yakni: pertama, menyangkut kesepakatan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh yang menegaskan antara lain: Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang: hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama. Kelima kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah RI sesuai dengan Konstitusi.
Kedua tentang HAM yang menegaskan bahwa: Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional PBB mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; sebuah Pengadilan HAM akan dibentuk; dan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) akan dibentuk di Aceh untuk merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi
Bagian ketiga tentang Amnesti dan Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat, menegaskan antara lain bahwa: Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini; mereka yang mendapatkan amnesti akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.
Keempat tentang Pengaturan Keamanan, berisi antara lain: semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir selambat-lambatnya pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman ini; GAM melakukan demobilisasi atas semua pasukan militernya; dan anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun yang menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
Kelima tentang Pembentukan Misi Monitoring Aceh (MMA) menegaskan bahwa: MMA akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.
Bagian terakhir tentang Penyelesaian Perselisihan, antara lain menegaskan bahwa: jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan oleh Kepala MMA, melalui musyawarah dengan para pihak.
Kedua, sebagai Ketua Delegasi RI pada Sesi ke-8 United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (PFII) di New York, 18-29 Mei 2009, sejak itu hingga kini, melihat PBB menyoroti lebih serius berbagai isu HAM di Papua dan Papua Barat. Bahkan, pada 22 December 2021, Dewan HAM PBB menyampaikan beragam keprihatinan kepada Pemerintah RI, yang antara lain menyatakan:
“….we have received concerning the excessive use of force against indigenous Papuans in the Indonesian provinces of Papua and West Papua. We have received allegations indicating several instances of extra-judicial killings, including of young children, enforced disappearance, torture and inhuman treatment and the forced displacement of at least 5,000 indigenous Papuans by security forces between April and November 2021.”
Karenanya, Pemerintah perlu membangun komunikasi yang lebih kondusif dengan Dewan HAM PBB dengan merespon berbagai isu yang telah disampaikan oleh para pelapor khususnya (UN Special Rapporteur) dan para ahlinya (UN Experts) terkait dengan adanya Penghilangan Paksa (forced disappearance), Penggunaan Kekerasan Berlebihan, Penyiksaan, dan Pemindahan Paksa (forced eviction); dan, Pengungsi Internal Orang Asli Papua (Internal Displacement of Indigenous Papuans/IDPs). Seperti terlihat di website Dewan HAM PBB, Pelapor Khusus tentang Hak Masyarakat Adat Papua dan Papua Barat, menyampaikan 33 isu keprihatinan (ohchr.org/sites/ filesIPeoples/SR/). Demikian pula pandangan para ahlinya terkait dengan beragam realitas dan keprihatinan yang disampaikan pada pernyataan persnya (UN press released, 01/03/2022)
Ketiga, melihat kompleksitas persoalan Papua yang terus menerus mendapat sororan PBB dan masyarakat internasional dan mencegah jatuhnya korban, Presiden Prabowo kelihatannya perlu menugaskan salah seorang menterinya untuk menangani secara khusus persoalan HAM di Papua. Kelihatannya, kementerian yang paling terkait dengan persoalan HAM adalah Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Terakhir, dalam rangka peringatan Hari HAM Internasional, 10 Desember, Presiden Prabowo dapat memberikan amnesti kepada warga Papua yang tidak memiliki jejak tindakan kriminal, namun kini dipenjara akibat ketidaktahuannya telah terjaring sebagai anggota OPM.
Semoga konflik berkepanjangan di Papua dan Papua Barat dapat diselesaikan secepatnya secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat untuk semua bagi kebesaran NKRI kini dan ke depan.