MENEBAK WACANA PRESIDEN ; PILKADA TIDAK LANGSUNG

Opini1107 Views

Oleh : Sumadi Dilla
Dir Eks JSI-Sultra, Dosen Komunikasi UHO.

Sepintas tak ada yang istimewa dengan Wacana presiden itu. Sebagai sebuah ide hal itu wajar saja. Apalagi sebelumnya presiden ke 7 Joko Widodo pernah mencetuskan ide tersebut dalam berbagai forum terbuka. Namun dibalik ide wacana itu, sebagai masyarakat, ada fakta sejarah yang dinafikan oleh pemerintah. Pemerintah dan penguasa mungkin lupa atau pura-pura lupa sejarah reformasi yang dinikmati saat ini. Bukankah pilkada secara langsung merupakan amanah reformasi sekaligus konsekuensi dari otonomi daerah. Bahkan pemerintah pernah memiliki pengalaman buruk, pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD, dituding tidak demokratis akibat adanya politik uang terhadap kursi partai politik di DPRD. Parahnya pengalaman tersebut menjadi ajang transaksi politik antar elit yang menimbulkan hilangnya kepercayaan publik hingga konflik masyarakat dengan lembaga legislatif. Jika pemilihan pemimpin di daerah diserahkan kembali ke DPR/DPRD itu artinya ide flashback bukan ide progress dalam berdemokrasi politik. Sungguh naif jika semangat reformasi yg diperjuangkan dengan keringat, airmata, darah dan nyawa, kini ingin dibajak lagi oleh elit politik dan aparat negara. Jika hal ini terjadi suatu pertanda hak kedaulatan rakyat dikesampingkan sekaligus kemunduran demokratisasi politik warga negara. Dimana pun negara yang menganut sistem demokrasi, keterlibatan warga negaranya menjadi tolok ukur negara itu disebut paham demokrasi.

Dengan demikian, alasan dibalik wacana presiden pilkada berbiaya mahal sungguh tidak tepat dan patut dikritisi. Sebab bila kita memahami penyederhanaan pemilu dan pilkada yang dilaksanakan serentak, itu dilatarbelakangi oleh semangat penghematan anggaran negara.
Pertanyaan yang patut diajukan kepada presiden bersama partai Gerindra sebagai pengusul wacana tersebut saat ini, apakah Gerinda menyadari bahwa partainya pernah menolak keras usul pilkada dilaksanakan di DPRD ketika PDIP mewacanakan pilkada tidak langsung beberapa tahun yang lalu. Lalu kenapa pula hal sebaliknya PDIP saat ini justru menjadi satu-satunya partai yang tegas menolak usulan presiden tersebut. Fakta ini mencengangkan sekaligus menodai wajah politik parlemen.

Jadi terhadap wacana tersebut kita dapat mengatakan ibarat sebuah permainan “game changer” politik partai penguasa. Pada konteks ini, wacana dipergunakan sebagai instrumen atau alat melanggengkan kekuasaan pada satu sisi. Disisi lain praktek wacana beroperasi untuk tujuan hegemoni dan dominasi terhadap pihak lain.

Di sinilah sesungguhnya menjadi persoalan, hal mana apa yang dipertontonkan pemerintah dan kekuasaan, relevan dengan thesis seorang filsuf Prancis Foucault, P.M (1980) yang dikenal sebagai ahli teori sosial, ahli bahasa, dan kritikus sastra. Bahwa elemen taktis dari suatu wacana adalah adanya relasi kuasa, dan antara wacana dan kekuasaan itu sendiri memiliki hubungan timbal balik. Karenanya, wacana presiden bersama partai Gerindra dan PDIP tentang pilkada tidak langsung patut dicurigai, sebagai upaya rezim menaklukkan dan menguasai hak kedaulatan rakyat.

Demikian pula narasi “pilkada berbiaya mahal” merupakan bentuk praktik wacana rezim sebagai produk hegemoni pengetahuan dalam menyusun informasi atas aktivitas publik yang dikendalikan.
Sejatinya pilkada berbiaya mahal dalam wacana dimaksud memerlukan kajian dan evaluasi, bukan memangkas esensi demokrasi di tingkat lokal. Pilkada yang mahal terjadi lebih disebabkan pemborosan penggunaan anggaran yang tidak semestinya, bukan alih-alih menghilangkan hak politik masyarakat.

Berdasarkan uraian dan fakta dikemukakan, semestinya yang harus dilakukan mendesak pemerintah dalam penghematan anggaran adalah;
1. Perbaikan sistem,aturan, penyelengara (KPU), dan pejabat pelaksananya (komisioner KPU) harus dikoreksi dan disempurnakan, bukan mencari alasan pembenaran berbiaya mahal.
2. Demikian juga lembaga pengawas pemilu (Bawaslu) yang selama ini dicap tidak melakukan fungsi pengawasan dengan ketat lantaran aturan mainnya sangat terbatas sehingga bermasalah alias tidak tuntas.
3. KPU bersama Bawaslu melakukan sosialisasi pendidikan politik mengikuti masa kerja KPUD dan uji publik pada kandidat selama 1 tahun dengan biaya negara.
4. Kandidat Peserta harus terdaftar lebih awal di KPU dan difahamkam dengan aturan main membuat pakta integritas larangan politik uang, sumbangan ataupun bansos, siap dicoret sebagai peserta jika terbukti.
5. Rekrutmen kandidat oleh Partai politik harus transparan kepada kader atau perorangan yang memiliki rekam jejak positif di masyarakat.
6. Pemerintah menjadi fasilitator yang jujur dan adil, tidak melakukan intervensi atau berpihak.
7. Biaya operasional kandidat termasuk kampanye ditanggung negara melalui APBN/APBD dengan alokasi yang berimbang dan terukur.
8. Penggunaan artis, atau publik figur dalam kampanye kandidat tidak diperkenankan dilakukan.
9. Penggunaan IT pada tahapan pencoblosan khususnya e-voting sebagai pengganti kertas suara yang menjadi sumber utama pembengkakan anggaran yang rawan manipulasi.
Melalui berbagai tindakan perbaikan, evaluasi dan modifikasi, dapat dipastikan biaya pelaksanaan pilkada serentak akan lebih efisien, efektif dan berkualitas. Bahkan indikasi penyimpangan seperti anggaran, waktu dan konflik atau sengketa pelaksanaan/ hasil dapat kontrol dan ditekan. Akhirnya, jika memaksakan wacana pilkada tidak langsung lolos menjadi agenda legislasi di DPR RI/DPRD, maka prinsip-prinsip demokrasi kembali dikebiri. Sungguh mengkhawatirkan akan menjadi kenyataan tragis, dimana sejarah kembali berulang, hak kedaulatan rakyat berkaitan dengan aspirasi dan suara warga diambil alih oleh segelintir elit politik. Jika demikian, suara rakyat adalah suara tuhan akan mencari jalannya sendiri.