HALUSINASI UU MUTUAL

Opini1247 Views

Oleh Ana Mustamin

(Bagian 1 dari 2 Tulisan)

 

Jakarta – Infobank News.com pada 2 Maret lalu menurunkan tulisan bertajuk, “Rapor Merah Bumiputera: Halusinasi Mutual Tak Menyelesaikan Masalah, Bro!” Selain menyentil orang-orang yang memperjuangkan eksistensi perusahaan Mutual (Usaha Bersama) seperti saya, inti tulisan ini mempertanyakan apakah dengan dibentuknya UU Usaha Bersama, pemegang polis Bumiputera dapat dibayar, dan kondisi Bumiputera langsung segar-bugar? Sebagaimana diketahui, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (Bumiputera) saat ini sedang dirundung masalah, yang berakibat belum terbayarkannya klaim-klaim pemegang polis.

Bagi saya, pertanyaan ini bisa dianalogkan dengan pertanyaan: apakah dengan dilahirkannya UUD 1945 maka rakyat Indonesia otomatis sejahtera, cerdas dalam berbangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia – sebagaimana cita-cita kemerdekaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945?

Bagi media sekaliber Infobank yang mengklaim analisanya tajam, dalam, dan bisa lebih dipercaya; membangun narasi dengan logical fallacy alias cacat dan sesat penalaran, sangat saya sayangkan. Ini semacam “argumentum ad populum”, sebuah argumen dianggap benar karena mungkin mayoritas orang-orang di lingkungannya berpikir seperti itu, meskipun faktanya salah.

Negara Kesatuan RI adalah Negara Hukum. UU dan segala regulasi turunannya adalah pedoman, kompas, peta jalan, arah, tujuan, aturan main. Tanpa UUD 1945, apakah Anda bisa membayangkan negara ini mau dibuat seperti apa, mau dibawa ke mana, mau dikelola seperti apa? Tanpa UU Perasuransian, apakah pelaku asuransi bisa menjalankan bisnis ini?

UU nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian pada Bab III Pasal 6 dengan jelas menyebut Badan Hukum dan Kepemilikan Perusahaan Perasuransian, terdiri atas a) perseroan terbatas, b) koperasi, atau c) usaha bersama yang telah ada pada saat UU ini diundangkan. Perseroan Terbatas diatur dalam UU nomor 40 tahun 2007, sementara Koperasi diatur dalam UU nomor 17 Tahun 2012.

Bagaimana dengan Usaha Bersama (Mutual)? UU Mutual tetap hanya ada di angan-angan, meski sejak UU Asuransi No. 2/1992 sudah mengamanatkan, dan Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya (yang tentu saja bersifat final dan mengikat) sudah 2 kali memerintahkan penyelenggara eksekutif negara untuk menerbitkan UU Mutual, masing-masing di tahun 2013 dan 2020. Dan Bumiputera sebagai perusahaan yang didirikan dengan bentuk badan usaha Mutual, meski sudah berusia 110 tahun (bahkan lebih tua dari republik ini), adalah satu-satunya perusahaan di Indonesia yang beroperasi tanpa landasan hukum bentuk badan usaha.

Dalam konteks ini, Bumiputera hanya setingkat lebih tinggi dibandingkan warung kelontong di pinggir jalan. Memang tidak lantas menjadi amatir seperti warung, karena Bumiputera memiliki Anggaran Dasar, manajemen profesional, dan jaringan kantor di seluruh kota di Indonesia, sebagaimana perusahaan besar pada umumnya. Tapi Anggaran Dasar Bumiputera jelas bukan diturunkan dari peraturan tinggi di atasnya, sebagaimana Anggaran Dasar PT yang merupakan amanah Pasal 15 UU Perseroan Terbatas.

Dalam kerangka Indonesia berdaulat dengan segala perangkat hukumnya, Bumiputera adalah “anak haram”. Bentuk badan usahanya tidak ada dalam pranata hukum NKRI. Anggaran Dasar Bumiputera datang dari sebuah negeri bernama Hindia Belanda, warisan kolonial. Dan celakanya (atau untungnya), sudah mengalami amandemen berkali-kali.

Karena itu, tidak mengherankan jika Bumiputera banyak melahirkan kontroversial. Dan dari sinilah kerumitan bermula. Karena pemerintah abai mengatur badan hukum Mutual, Bumiputera tidak memiliki “manual book” yang bisa dipahami dan dioperasikan semua orang. Tak syak, praktik Mutual di Indonesia menjadi bebas tafsir. Semua orang melihat dengan cara pandang dan keyakinannya sendiri-sendiri.

Bagi internal Bumiputera, pemahaman Mutual masih relatif lumayan, meski berlum tentu sama. Bumiputera memiliki museum di Magelang dengan arsip yang cukup lengkap, sehingga manajemen Bumiputera masih bisa mengikuti dan membaca Anggaran Dasar serta dokumen Bumiputera lainnya, yang merupakan warisan turun-temurun dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Dan karena menyadari bentuk badan usaha yang berbeda, manajemen Bumiputera berulang kali melakukan benchmark ke negara lain yang juga menggunakan bentuk badan usaha Mutual, di antaranya Jepang yang dikunjungi pertama kali di tahun 1950-an.

Bagaimana dengan pihak eksternal? Pihak eksternal umumnya tidak mengerti, apalagi tidak pernah berada dalam lingkungan perusahaan ini, tidak pernah membaca referensi tentang perusahaan Mutual di negara lain, dan tidak menemukan referensi Mutual di negeri sendiri. Badan usaha Mutual tidak ada dalam ruang-ruang kuliah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Hukum. Tidak ada dalam subjek mata kuliah di sekolah mana pun di Indonesia. Alih-alih menjadi kajian para pakar hukum dan ekonomi.

Karena itu, jangan heran jika Mutual awareness tidak terbangun di Indonesia. Dan anehnya, ada saja yang manyalahkan kurangnya sosialisasi Mutual yang dilakukan oleh Bumiputera. Sosialisasi Mutual adalah tugas negara melalui regulasi. Jika manajemen Bumiputera ikut mensosialisasikan, itu bukan kewajiban, tapi kebutuhan. Tapi seberapa gencarnya Bumiputera mensosialisasikan, jika itu tidak ada dalam pranata hukum negara, bagaimana awareness itu bisa terbentuk? Ke mana masyarakat mencari rujukan dan panduan? Masyarakat tokh tidak seluruhnya bersentuhan dengan Bumiputera. Jangankan masyarakat awam, saya malah meragukan apakah Menteri Hukum dan HAM RI beserta aparatnya memahami ada badan hukum bernama Mutual di Indonesa.

Karena tidak memiliki “manual book” dalam bentuk regulasi, persoalan-persoalan semacam bagaimana tata kelola yang baik bagi perusahaan Mutual, apa yang menjadi prinsip dasarnya, bagaimana perusahaan ini dinilai kinerjanya, pada akhirnya tidak diketahui secara persis. Atau, kalau pun diketahui, basisnya adalah tafsir dengan menggunakan perspektif Perseroan Terbatas.

Apa implikasinya? Ya namanya tafsir, bisa benar bisa salah. Bagaimana memastikan itu benar atau salah, sementara parameter dan “manual book”-nya tidak tersedia?

 

(BERSAMBUNG)

 

*) Ana Mustamin, Dewan Pakar Brain Society Center, Direktur SDM dan Umum AJB Bumiputera 1912 Periode 2016-2018