Oleh: Ana Mustamin
Anggota Dewan Pakar BS Center
Rancangan Undang-undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang antara lain akan memberi mandat kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengawasi koperasi, memicu reaksi pelaku koperasi.
Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), sebagaimana banyak dilansir media beberapa hari terakhir ini, secara terang-terangan menentang rencana ini. Ferry Juliantono, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional Dekopin dalam keterangan persnya pada 20 November 2022, menyebut bahwa berdasarkan UU Nomor 21/2011 tentang OJK, tidak ada pengaturan tentang tugas OJK untuk mengawasi usaha sektor keuangan koperasi, sehingga rencana itu
disinyalir bertentangan dengan UU OJK. Ferry juga mengkhawatirkan akan adanya tumpang tindih dan disharmoni pengaturan, mengingat koperasi juga tunduk pada UU Koperasi.
Koperasi sebagai Badan Usaha
Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Pasal 1 menjelaskan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasar prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat atas asas kekeluargaan. Mengacu pada definisi di atas, maka koperasi dapat dimaknai dalam 2 hal. Pertama sebagai badan usaha, dan kedua sebagai gerakan ekonomi rakyat.
Sebagai badan usaha, koperasi setara dengan perseroan terbatas, dan atau badan hukum usaha lainnya. Dalam UU No. 40 tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian misalnya, bahkan disebutkan ada 3 jenis badan usaha untuk industri ini, yakni 1) Perseroan Terbatas, 2) Koperasi, dan 3) Usaha Bersama. Dulu pernah ada Koperasi Asuransi Indonesia (KAI) yang
bergerak di usaha asuransi jiwa (sekarang sudah dilikuidasi), dan masih ada satu perusahaan usaha bersama (mutual) yakni Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Keduanya termasuk yang diawasi OJK. Usaha bersama (mutual) sendiri adalah bentuk badan usaha yang secara prinsip lebih mirip koperasi ketimbang perseroan terbatas, yakni menyelenggarakan usaha dari dan untuk anggota.
Dalam pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, dijelaskan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pasal ini tidak menyebut dan tidak
mengecualikan apa pun bentuk badan usahanya – baik perseroan, koperasi, atau usaha bersama; sepanjang bergerak di sektor jasa keuangan, maka (seharusnya) berada di bawah pengawasan OJK.
Pasal 6 kemudian merinci tugas pengaturan dan pengawasan OJK terhadap industri jasa keuangan meliputi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Lembaga jasa keuangan lainnya sekaligus menjelaskan bahwa apa pun bentuk badan usahanya, selama bergerak di bidang jasa keuangan, maka menjadi tugas OJK untuk mengawasinya. Tentu, tidak terkecuali koperasi.
Badan Usaha Vs Bidang Usaha
Penolakan Dekopin atas pengawasan OJK mungkin saja lahir dari kerancuan cara berpikir kita tentang koperasi. Koperasi adalah badan usaha, bukan jenis atau bidang usaha seperti perbankan atau perasuransian. Koperasi, sebagaimana perseroan terbatas, memiliki banyak sekali ragam usaha. Sepanjang koperasi tidak menjalankan usaha di bidang jasa keuangan, tentu saja koperasi dimaksud tidak termasuk badan usaha yang harus diatur dan diawasi oleh OJK. Sebaliknya, apa pun badan usahanya, jika menjalankan usaha jasa keuangan, seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), maka memang harus berada di bawah pengawasan OJK. Pemahaman ini penting bukan hanya bagi pemangku kepentingan koperasi, tapi juga bagi tim yang menyusun RUU PPSK dan OJK sendiri, sehingga kita tidak gegabah memasukkan semua koperasi dalam pengawasan OJK.
Pengelola koperasi tidak bisa berkilah bahwa usaha koperasi hanya berlaku sebatas untuk anggota koperasi. Karena jika koperasi tersebut membesar, tentu akan melibatkan masyarakat luas. Dan kita sudah sering sekali menyaksikan skandal pengelolaan jasa keuangan
yang dilakukan pengurus koperasi dengan melibatkan masyarakat luas dan jumlah dana yang signifikan.
Bagaimana dengan kekhawatiran tentang tumpang tindih pengaturan atau disharmoni regulasi? Rasanya bukan hanya koperasi yang diayomi oleh satu institusi. Tapi juga usaha
lainnya. Perusahaan BUMN yang bergerak di sektor jasa keuangan misalnya, diatur dan diawasi oleh Kementerian BUMN sekaligus oleh OJK. Koperasi yang diawasi OJK tidak akan menghilangkan peran Kementerian Koperasi. OJK mengawasi koperasi dari sisi penyelenggaraan jasa keuangan saja, agar koperasi jasa keuangan juga bisa beroperasi secara prudent sebagaimana lembaga keuangan lainnya. Sementara Kementerian Koperasi dapat
memperkuat koperasi dari sisi kelembagaan untuk semua jenis usaha.
Dari aspek pengaturan UU, Perseroan Terbatas juga memiliki UU PT, serupa dengan UU Koperasi. Kedua UU ini mengatur kelembagaan PT dan koperasi secara umum, baik di sektor jasa keuangan maupun non jasa keuangan.
Dengan pengaturan dan pengawasan di bawah OJK, kita tentu saja berharap OJK pun dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara lebih baik, dengan membuat regulasi dan parameter
yang sejalan dengan karakteristik badan usaha masing-masing. Sehingga ke depan, kita melihat koperasi jasa keuangan menjadi lebih maju serta kuat, dan bukan sebaliknya.***