Bandung – Densus 88 menembak seorang dokter di Sukoharjo. Peluru yang menembus punggung dan pinggulnya itu telah menewaskan aktivis kemanusiaan yang berjalan dengan bantuan tongkat karena sakit stroke.
Tidak terbayang bahwa ia memiliki kemampuan untuk melawan pasukan Densus 88 yang bersenjata lengkap dan hebat itu. Termasuk bisa menabrakkan mobilnya ke arah pasukan.
Main tembak dan membunuh bukan saja tidak profesional tetapi juga membuat kasus menjadi tertutup. Terduga teroris telah dihukum mati dengan bukti hanya dugaan. Sadis sekali. Sepertinya asas praduga tak bersalah itu hanya ada dalam ruang perkuliahan. Praktiknya adalah kepastian bersalah sehingga membunuh menjadi hal yang tidak dianggap masalah.
Penembakan Sunardi, dokter yang dikenal baik dan sering menggratiskan pembiayaan, adalah extra judicial killing. Kejahatan kemanusiaan. Tuduhan perlawanan sepertinya standar dalam mengolah pembenaran.
Persis seperti kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI yang diawali dengan cerita perlawanan dan tembak menembak. Ternyata fakta tidak sesuai cerita. Realitanya adalah pembantaian atas rakyat yang tidak berdaya.
“Teroris” menjadi lingkaran target latihan memanah atau menembak. Densus 88 memiliki otoritas yang nyaris tidak berbatas. Prosedur hukum bisa dilewati hanya dengan alasan bahwa teroris itu berbahaya.
Apa bahayanya bagi penghancuran organ vital negara oleh aktivitas Munarman, Farid Okbah, Ahmad Zain An Najah, Anung Al Hamat, dan dr Sunardi? Tidak ada!
Jamaah Islamiyah adalah umpan untuk menjerat. Pemerintah tidak pernah menjelaskan makhluk apa Jamaah Islamiyah itu. Harusnya detail mengungkap company profile dari perusahaan ini.
Plat merah atau swasta murni, buatan atau mainan? Densus 88 yang sudah berulang kali mengaitkan harus mampu membantu menjelaskan hal ini agar benar, jujur, dan serius dalam melindungi rakyat.
Kini seorang dokter yang baik telah tewas ditembus peluru tanpa bisa membela diri atas tuduhannya sebagai teroris. Densus 88 harus bertanggung jawab. Komnas HAM patut untuk segera mengusut dan presiden mesti bicara. Nyawa bukan koin judi pertaruhan yang dapat hilang dengan sia-sia di negara berideologi Pancasila.
Terlalu dalam luka bangsa oleh perilaku jumawa penguasa negara. Mencuri merampok, membunuh, memperkosa, dan adu domba. Semua atas nama investasi dan demokrasi untuk membangun negeri. Negeri ini telah terjajah oleh para oligarki.
Kini penjajah itu telah menembak seorang dokter hingga punggung atas dan pinggul kanan tertembus peluru. Door… innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Oleh: Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan_