Jakarta – Mantan Wartawan, Sutan Nasomal menilai di Indonesia saat ini sedang terjadi perang dingin sesama elemen pers.
Hal itu dia utarakan menanggapi terbentuknya Koalisi Wartawan Bersatu oleh para aktivis pers yang terdiri dari elemen-elemen pers diantaranya wartawan, industri pers (media) dan organisasi pers.
Kata dia elemen itu adalah kekuatan bagi institusi Dewan Pers dalam menjaga kebebasan pers di Indonesia.
“Kita mendukung apa yang menjadi tuntutan gerakan koalisi yang akan melakukan aksi secara berkesinambungan ke Dewan Pers dan Mabes Polri,” katanya seperti dikutip Redaksi Jateng, Kamis (24/3/22).
Olehnya itu dia berharap kedua pimpinan instansi itu mau menerima perwakilan koalisi sehingga memahami kondisi dan situasi pers yang sebenarnya.
“Karena bukan tidak mungkin perang dingin bisa menjadi konflik horizontal antar sesama elemen pers yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai penyedia jasa informasi publik di lapangan bila polemik terus dibiarkan,’ tutur Rektor universitas salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini .
Melihat situasi saat ini, dia menduga ada oknum yang memanfaatkan program-program Dewan Pers untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, hingga menyulut api kemarahan para aktifis pers.
ia juga menyoroti kebijakan Dewan Pers yang mengatur verifikasi media
“Media terverifikasi Dewan Pers adalah kegiatan Dewan Pers untuk pendataan media terhadap industri pers yang masih eksis dan konsisten menjalankan tugas dan fungsi pers di lapangan,” jelasnya.
Dahulu terang Nasomal, setiap redaksi wajib mengisi formulir dan melampirkan legalisasi badan hukum yang masih berlaku dan bukti tayang/cetak penerbitan secara berkala.
“Selanjutnya Dewan Pers mencatat nama-nama media tersebut dan menerbitkan Buku Data Media Dewan Pers,” ungkapnya.
Namun sesal dia, belakangan ini, dikabarkan kuisioner formulir ditambah dan dianggap sebagai persyaratan mutlak, yakni sertifikasi kompetensi setiap jajaran redaksi mulai dari wartawan, redaktur hingga pemimpin redaksi.
“Bila tidak ada maka tidak terverifikasi atau tidak didata Dewan Pers,” ujarnya lagi.
Selanjutnya ungkap dia, kuisioner penepatan upah atau gaji wartawan yang wajib memiliki SK Kementerian Ketenagakerjaan yang harus sesuai dengan standar UMR/UMP nasional.
“Tentu ini dilema bagi media-media pemodal kecil dan menengah,” bebernya.
Belum lagi terang dia, biaya untuk mengikuti ujian sertifikasi kompetensi yang nilainya tidak menentu.
“Setiap tingkatan yang nilainya jutaan rupiah bahkan terdengar kabar ada yang mencapai belasan juta untuk uji kompetensi utama. Itu pun kalau lulus,” imbuhnya.
Esensi dari kebijakan itu menurut dia, media-media yang belum terverifikasi langsung dieksekusi dan dicap secara terbuka kepada publik sebagai media abal-abal, odong-odong, dan atau media liar.
“Padahal media yang belum terverifikasi sudah jauh eksis sebelum persyaratan itu ditambah-tambahi,” tambahnya.
Menurut dia hal ini patut disebut sebagai kejahatan “genosida” secara sistematis untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagian atau seluruh kelompok tertentu.
Kemudian jelas Nasomal, polemik tentang wartawan kompeten dan tidak kompeten menjadi pemicu konflik.
Secara singkat Nasomal memaparkan, bahwa banyak sekali wartawan senior atau yang sudah lama melakukan tugas jurnalistiknya baik itu yang populer maupun yang tidak populer di masyarakat.
“Sekarang terdengar gaung yang kuat di hadapan publik, bahwa wartawan yang tidak memiliki sertifikasi kompetensi UKW adalah bukan wartawan ataupun wartawan liar,” urainya.
Kata dia hal ini menimbulkan kesan bahwa Dewan Pers tidak punya etika dan moral terhadap para senior wartawan yang sudah bekerja sejak lama menjalankan tugas dan fungsi pers dalam memberikan informasi kepada publik selama ini.
“Ini pun dapat dikategorikan kejahatan “Genosida”, tegas Sutan Nasomal.
Lebih jauh Nasomal menceritakan bahwa pasca reformasi 1998, banyak organisasi-organisasi wartawan yang turut serta membantu dan memperjuangkan Dewan Pers.
“Sekarang malah Dewan Pers mengklaim organisasi wartawan di Indonesia hanya tujuh organisasi. Di luar daripada itu dipropagandakan dan dibuat image sebagai organisasi liar, abal-abal, tidak sah dan sebagainya,” sebutnya.
Di sisi lain kata dia, Dewan Pers tidak melihat nilai positifnya sama sekali padahal perjuangan mereka (organisasi pers yang dianggap tidak konstituen Dewan Pers-red) tengah berjuang mendidik, melatih dan membina para anggotanya untuk menjadi profesional.
“Dewan Pers telah mempertontonkan perilaku yang buruk dihadapan aktifis pers. Ujung-ujungnya, figur jabatan Ketua Dewan Pers akan jadi kambing hitam perilaku jahat tersebut. Padahal ada oknum- oknum yang berkoar- koar merasa paling hebat dan berkuasa, yang lain harus tersingkir,” tegasnya.
Untuk itu, dia menghimbau Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh, untuk mau membenahi penerapan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Dewan Pers dengan cara arif dan bijaksana dengan membuang oknum-oknum yang congkak dan angkuh. Agar, Dewan Pers mampu menjadi ‘holding’ yang kuat.
“Mempersatukan semua elemen-elemen pers, dan merangkul organisasi pers sebagai perpanjangan tangan Dewan Pers dalam menata dan membentuk Pers Indonesia yang berkualitas dan profesional, serta mampu bersaing dengan media-media di tingkat internasional,” harapnya.
Sebagai penutup, Sutan Nasomal berceloteh, biarlah peserta ujian UKW itu buat anak-anak muda saja, sedangkan yang senior sudah tua tidak usah.
“Aturan ketat dikasih ke media dan organisasi pers pemula saja. Kue jangan dimakan sendiri, sesama bis kota jangan saling mendahului,” tutupnya.
(Red/Sumber