Trump Mulai Hukum Negeri Kita

Pontianak, PBSN – Saya kira China, Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa musuh Amerika. Ternyata, negeri kita pun mulai dijadikan seteru. Kenapa Trump sampai menghukum negeri kekuasaan Prabowo ini dengan tarif 32 persen? Sambil menikmati kopi di CW Sebatuan Sebangkau Sambas, mari kita kupas, wak!

Dunia sedang menuju kehancuran. Kali ini, panggung apokaliptik bukan di Hollywood, bukan juga di Ukraina atau Timur Tengah, melainkan di ruang rapat Gedung Putih. Tempat Donald Trump memutuskan untuk menancapkan pedang kebijakan ekonomi ke jantung Nusantara. Tanpa aba-aba, tanpa salam tempel, tanpa undangan hajatan, Indonesia tiba-tiba disergap dengan tarif impor 32% yang membuat ekspor kita lunglai seperti atlet maraton kehabisan elektrolit di tengah gurun Sahara.

Keputusan ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, tapi sebuah deklarasi perang dagang yang lebih mengerikan dari final Piala Dunia yang diwarnai adu penalti. Tekstil, elektronik, otomotif, dan produk agribisnis yang selama ini melenggang anggun di pasar Amerika, kini tersandung tarif lebih tinggi dari harga tiket konser Coldplay di barisan depan. Para pengusaha ekspor pun mendadak migrain akut. Sementara para akademisi sibuk membuat teori tentang bagaimana kebijakan ini bisa menjadi awal mula kehancuran ekonomi global, atau setidaknya, kehancuran dompet rakyat Indonesia.

Di sudut-sudut pabrik, para pekerja mulai gelisah. Dengan ekspor yang tercekik, produksi bakal melambat, pesanan menyusut, dan pada akhirnya, nasib mereka di ujung tanduk. PHK massal sudah mengintai di ujung jalan, siap menyergap kapan saja. Dalam beberapa bulan ke depan, kita mungkin akan melihat antrean panjang di bursa kerja, lebih panjang dari antrean BTS Meal tahun lalu. Ironisnya, tak ada yang bisa menjamin bahwa ekonomi akan segera pulih. Para pengamat memperingatkan, kalau kebijakan ini tak segera ditangani, Indonesia bisa jatuh ke jurang resesi lebih dalam dari plot twist film Christopher Nolan.

Di lantai bursa, rupiah mulai menggigil. Investor yang biasanya tenang kini seperti anak kecil ketakutan melihat badut di pesta ulang tahun. Pasar saham bergejolak, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mulai menari seperti koreografi JKT48, tapi dalam versi depresi. Jika ini terus berlanjut, harga barang-barang di dalam negeri akan melambung lebih cepat dari roket SpaceX. Rakyat kecil, yang sejak awal sudah terbiasa dengan hidup susah, kini harus menghadapi kenyataan bahwa seporsi nasi goreng pinggir jalan pun bisa menjadi barang mewah. Inflasi siap menerkam, dan daya beli masyarakat bisa hancur berkeping-keping seperti hati mahasiswa saat tahu biaya kuliah naik lagi.

Lalu, pertanyaannya, kenapa Trump melakukan ini? Apakah ini balas dendam personal? Apakah ini ulah Illuminati? Ataukah ini bagian dari skenario besar untuk membuat Indonesia tunduk di bawah supremasi ekonomi Amerika? Para analis politik sibuk berdebat. Sebagian percaya bahwa ini hanya strategi untuk memenangkan pemilih Amerika dengan retorika proteksionisme yang keras. Sebagian lain yakin bahwa ini adalah bentuk dendam kesumat karena Trump kalah dalam kontes makan nasi goreng super pedas saat berkunjung ke Bali. Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, kebijakan ini sudah menempatkan Indonesia dalam kondisi darurat ekonomi yang lebih serius dari harga tiket mudik lebaran.

Sementara itu, di ruang-ruang rapat pemerintahan Indonesia, para pejabat mulai memutar otak. Haruskah kita membalas? Haruskah kita menaikkan tarif impor untuk produk Amerika? Tapi, tunggu dulu. Apa yang sebenarnya kita impor dari mereka? Mobil? Laptop? Snack impor? Kalau kita naikkan tarifnya, apakah itu justru akan membuat rakyat sendiri makin menderita? Lalu, bagaimana dengan hubungan diplomatik? Apakah kita masih bisa berharap pada negosiasi yang masuk akal, atau haruskah kita mengirim tim duta besar bersenjata rendang dan sambal matah untuk meluluhkan hati Trump?

Para ekonom menyarankan langkah-langkah mitigasi, diversifikasi pasar ekspor, mempercepat negosiasi dagang, memberikan insentif untuk industri yang terdampak, dan yang paling penting, menyiapkan strategi agar kita tidak bergantung pada satu negara saja. Tapi di tengah kekacauan ini, satu hal tetap pasti, rakyat Indonesia, dengan segala kecerdasannya dalam menghadapi krisis, akan menemukan cara untuk bertahan. Karena, kalau ada satu hal yang lebih kuat dari tarif 32%, itu adalah kreativitas dan semangat bertahan hidup bangsa ini. Sementara dunia bisa berkonspirasi, kita tetap bisa ngopi dan tertawa. Seperti biasa, kita akan mencari cara untuk menang, bahkan dalam kondisi yang paling mustahil sekalipun.

Bagi yang sudah membaca cerpen-cerpen saya sebelumnya, pasti mulai paham situasi ini.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *