PBSNIndonesia – Jakarta, Rasa optimis yang berlebihan dari Presiden Prabowo atas diresmikannya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) perlu disikapi dengan serius dan hati-hati. Sebab ambisi pemerintah itu berhadapan dengan sikap pesimis masyarakat yang tingkat kepercayaan umum (Public Trust) sangat rendah akibat kinerja ekonomi pemerintah Jokowi selama 10 tahun yang tidak baik dan bisa diandal.
Pengamat ekonomi senior yang juga gurubesar IPB Bogor dan ketua dewan pakar ASPRINDO Prof. Didin S Damanhuri menyatakan hal itu kepada media, Senin, 3 Maret 2025, menyikapi berdirinya BPI Danantara oleh Presiden Prabowo di Istana Negara, pada Senin pekan lalu. Dalam kesempatan itu Prabowo menunjuk Badan Pengawas yang diketuai oleh Erick Tohir Menteri BUMN yang notabene BUMN merugi dibawah kepemimpinannya, dimana kita ketahui perusahaan BUMN seperti PERTAMINA terjerat kasus oplosan PERTAMAX 92 yang merugikan Negara hampir 1000 Triliun. dan INDOFARMA juga terancam bangkrut akibat korupsi besar-besaran dimana perusahaan obat harusnya untung besar pada saat kovid-19.
Awal berdirinya saja sudah muncul keraguan umum kepada para pengelola. Roeslani adalah Menteri Inverstasi yang sewaktu Pilpres 2024 merupakan Ketua Tim Kampanye Prabowo-Gibran. Sedangan Doni Oskaria sekarang adalah Wakil Menteri BUMN yang diisyukan dekat dengan Raffi Ahmad, mitra Gibran dan Kaesang dalam beberapa jenis usaha. Sementara Pandu syahrir adalah Keponakan Kandung dari Penguasa-Pengusaha Luhut Binsar Panjaitan. Ayah Pandu adalah Syahrir (alm) seorang ekonom kondang yang menikah dengan Kartini Panjaitan, adik kandung Luhut.
Masalahnya, kata Didin, Danantara diluncurkan ketika public-trust kepada Pemerintah sudah terlanjur rendah. Ini diakibatkan kinerja yang sangat buruk dalam 10 tahun pemerintah sebelumnya. Trust Publik itu juga dipengaruhi oleh pengumuman OCCRP bahwa lembaga-lembaga hukum dan politik tidak sejalan dengan konstitusi seperti KPU, MK dan Pemilu. Pemilu yang terindikasi curang dan Jokowi dinobatkan sebagi koruptor terbesar di dunia. Juga kesan PSN Rempang dan PIK-2 yang merugikan rakyat bahkan belum dilakukan penegakan hukum yang berimbang dan bersih.
Ditambahkannya, Ekosistem politik pun bermasalah di mana partai-partai sangat tergantung dari sumbangan para pengusaha sehingga dikhawatirkan akan terjadi intervensi politik kepada Danantara. Apalagi menjelang menjelan Pemilu 2029. “Karena itu prinsip Good Coorporate Governance dan transparansi publik sangat mutlak untuk memastikan prgram-program Danantara berjalan baik dan efektif. Harus dibuktikan di lapangan bahwa pendirian BPI Danantara betul-betul untuk kepentingan nasional bukan kepentingan politik praktis,” kata Pengamat Ekonomi Senior Indef itu.
Sebuah masalah lagi, katanya, UU BUMN yang sudah direvisi di DPR itu hingga sekarang belum bisa diakses publik lewt Lembaran Negara. Dalam RUU itu sebelum disahkan jadi UU ada dua hal yang mencemaskan, yaitu kerugian BPI Danantara yang berisiko gagal dan berdampak sangat besar bagi keuangan negara yang harus di-built-out oleh APBN. Tidak jelas apakah hal ini bisa dibebankan kepada pengelola.
Lalu, kerja BPI Danantara diramaikan tidak bisa menjadi objek audit BPK, BPKP dan pengawasan KPK. Kita berharap dua hal itu sudah direvisi setelah UU baru ada di Lembaran Negara. “Pak Roeslani membantah itu, tetapi apakah dalam UU BUMN baru itu memang sudah dilakukan perubahan mengingat publik belum bisa mengakses Lembaran Negara,” kata anggota Dewan Penasehat ICMI Pusat itu.
Pertanyaan lain adalah apakah fungsi sosial BUMN yang sudah berjalan dan banyak manfaat masih tetap ada, seperti pembinaan UMKM, koperasi dan CSR tetap dipertahankan oleh BPI Danantara. Dalam pidato Presiden Prabowo menekankan BPI harus sinergi dengan UMKM dan koperasi. Apakah eksistensi BUMN yang asetnya itu dialihkan penuh ke Danantara tetapi BUMN-BUMN itu masih menjalankan fungsi PSO dan CSR itu?
“Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah utang-utang yang macet dari BUMN besar itu dianggap lunas? Juga utang BUMN ke badan asing yang, menurut Anggota DPR-RI Misbakhun, berjumlah lebih dari Rp8.500 Triliun akan tetap ditanggung BUMN bersangkutan atau diambil alih BPI. Terutama BUMN-BUMN Karya. Dan apakah ini nanti tidak membebankan APBN,” tanyanya menuntut penjelasan karena nampaknya belum ada hal yang rinci dan menyeluruh.
Kemudian , tambahnya, bagaimana format kemitraan BPI dengan UMKM dan Koperasi? Konon menurut Prabowo ada 20 bidang usaha kecil dan menengah itu yang segera dibiayai. Apalagi kalau BPI melibatkan usaha dengan asing. Padahal itulah yang memberikan manfaat langsung kepada rakyat sebagai akibat dari disisihnya dana Rp 300 Triliun untuk modal BPI. “Apa sudah ada dasar hukumnya dan seberapa jauh itu bisa dilaksanakan secara nyata dan konkret,” tanyanya lagi.
Catatan lain, jika BPI ini tidak diaudit oleh BPK dan tidak diawasi oleh KPK maka risiko terjadi korupsinya sangat tinggi. Diawasi saja korupsi merajalela apalagi kalau tidak diawasi. Juga akan terjadi konflik kepentingan. Misalnya pejabat BPI mengeluarkan dana untu proyek tertentu tanpa pertimbangan bisnis yang objektif dan profitable. Kurang dalam aspek transparansi dan akuntable sehingga masyarakat tidak mengetahui bagaimana dana itu dikelola.
Tanpa audit BPK dan pengawasan KPK maka kerugian investasi dalam penggunaan dana bisa luput dari pemantauan publik. Jika ada pengelolaan yang buruk dan investasi salah, maka tidak ada mekanisme resmi yang bisa mengaudit dan memberikan rekomendasi perbaikan. Jika tidak ada audit maka akan ada keraguan dari investor asing dan nasional atau kredibilitas BPI.
“Maka belajarlah dari Temasek Singapura, dan Khazanah Malaysia seperti sering diulang-ulang oleh para ahli. Jika pengelolaan BPI tidak profesional dan menimbulkan kerugian maka akan mengancam APBN dan menimbulkan krisis ekonomi nasional yang parah dan menyakitkan,” demikian Didin S Damanhuri.
Sumber KBA News/ dea PBSN