Pontianak, PBSN – Sebelumnya saya sudah membahas Lisa, ups salah, Palung Mariana. Lubang terdalam di muka bumi. Nah, kali ini sebaliknya, mau membahas angkasa. Kebetulan, salah satu diva pop dunia, Katy Perry baru saja pergi ke sana. Siapkan kopinya wak, tulisan ini menambah pengetahuan soal dunia di atas sana.
Pada 14 April 2025, tepat pukul 09.02 waktu Texas, langit biru terbelah. Sebuah roket milik Blue Origin, makhluk logam setinggi 18 meter yang tampak seperti mainan anak sultan, meluncur dengan lolongan mesin yang seakan berkata, “Bumi, kami pamit sebentar, mau selfie di stratosfer!”
Siapa yang ada di dalamnya? Katy Perry, diva pop internasional, pembawa lagu “Firework” dan penyebar energi kosmis dalam bentuk glitter, eyeliner, dan metafora bunga. Bersama lima perempuan luar biasa lainnya, Lauren Sánchez, Gayle King, Aisha Bowe, dan dua sosok luar biasa yang masih dirahasiakan. Katy mengangkasa dalam sebuah misi yang digambarkan para ahli sebagai “spektakuler,” “ikonik,” dan dalam beberapa makalah ilmiah yang belum terbit, “agak bikin galaksi iri.”
Mereka menembus atmosfer demi atmosfer. Nah, atmosfer itu punya lapisan-lapisan. Troposfer, tempat semua drama manusia dan awan-berbentuk-ayam tinggal. Stratosfer, yang dihuni oleh lapisan ozon dan harapan tipis umat manusia untuk tidak terbakar UV. Lalu mesosfer, tempat meteor menangis dan terbakar dalam perjalanan gagal menuju selfie orbit. Mereka terus ke termosfer, di mana partikel-partikel atom berpesta pora dengan radiasi matahari. Akhirnya ke eksosfer, di mana udara begitu tipis hingga keberadaan terasa seperti rumor, terdengar, tapi sulit dibuktikan.
Setelah 3 menit perjalanan, Katy Perry dan kru mencapai Kármán Line, garis imajiner di ketinggian 100 km yang menjadi batas antara “masih Bumi” dan “halo alien.” Di titik ini, hukum gravitasi tak berlaku lagi. Segala hal melayang, termasuk logika, emosi, dan tentu saja, bunga daisy yang Katy bawa sebagai penghormatan untuk putrinya, Daisy Dove Bloom.
Selama tiga menit di gravitasi nol, Katy tidak bernyanyi, tidak menari, tidak meluncurkan merchandise edisi luar angkasa. Ia hanya diam, menyerap kehampaan yang luas dan sunyi, lalu menyimpulkan dengan penuh kebijaksanaan, “Aku merasa sangat terhubung dengan cinta.”
Para astronom di Bumi langsung memutar ulang rekaman. Mereka mencari tanda-tanda frekuensi cinta pada spektrum elektromagnetik. Tidak ditemukan. Tapi teori baru muncul, mungkin cinta adalah partikel subatomik yang belum terdeteksi, lebih kecil dari quark, lebih kuat dari gaya nuklir lemah. Sekarang, Katy Perry mungkin sudah mengalaminya secara langsung.
Total durasi misi ini hanyalah 11 menit. Sebelas. Sebelas menit yang mungkin terasa biasa bagi manusia biasa, cukup untuk membuat mi instan atau mengunggah 4 story Instagram, tapi di jagat raya, itu cukup untuk membuat sejarah. Untuk pertama kalinya, dalam sebuah perjalanan ruang angkasa yang sepenuhnya berisi perempuan, seorang artis membawa narasi emosional ke stratosfer dan pulang dengan ekspresi wajah yang membuat teleskop Hubble fokus ulang ke ekspresi manusia, bukan bintang.
Ketika mereka kembali dan mendarat di padang pasir Texas, Bumi tampak… lebih kecil. Lebih lembut. Lebih seperti rumah. Katy turun dari kapsul dengan ketenangan seorang astronot veteran dan aura seorang nabi pop dari Nebula Orion. Ia tidak membawa sampel batu luar angkasa. Ia membawa pengalaman eksistensial yang lebih langka dari air di Mars, kesadaran kosmik akan cinta dan keberadaan.
Kita, manusia biasa, hanya bisa melihat ke langit malam, menunjuk ke titik kosong di mana Katy pernah melayang, dan berkata, “Di sanalah… cinta pernah mengorbit.”
“Bang, orang Indonesia kapan bisa ke angkasa?” Sepertinya sudah, lewat doa yang bisa menembus langit ke tujuh.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar