Indonesia Disandera Preman?

Hukrim, Sosial53 Views

Lampung, PBSN – Media China, South China Morning Post, baru saja memuat artikel yang menampar keras wajah optimisme kita, “Indonesia’s EV Revolution Held Hostage by ‘Preman’ Gangster Problem.”

Ini bukan sinopsis film Jumbo Part II, melainkan berita dengan rumus 5 W + 1 H. Negara besar yang mengklaim sebagai pemain utama industri mobil listrik dunia, justru kepleset di toilet umum. Bukan karena bencana alam atau kesandung krikil. Tapi karena urusan yang sangat lokal: premanisme.

Investor asing ingin membangun pabrik baterai di tanah Indonesia, tapi harus melintasi jalan yang dikuasai oleh “tokoh masyarakat” bergolok tumpul dan berseragam ormas. Kalau tidak setor “uang keamanan,” ya bisa-bisa truk logistik cuma muter-muter tak sampai tujuan.

Ian Wilson, dosen senior di Murdoch University Australia dan penulis buku The Politics of Protection Rackets in Post New-Order Indonesia, sudah lama membaca sidik jari negeri ini. Dia bilang, “Kalau ada perusahaan besar masuk wilayah di Indonesia, biasanya mereka akan menemui para jawara lokal dan menjalin komunikasi dengan mereka.”

Kalau tidak? Ya begini hasilnya.
Dicegat, dipalak, atau minimal diusir secara adat melalui whatsapp grup arisan RT.

Menurut Wilson, perusahaan kadang menawarkan “solusi damai” dengan menjadikan preman sebagai satpam proyek atau tukang sapu. Tapi masalah menjadi rumit jika preman itu bagian dari ormas besar, apalagi yang punya koneksi ke partai politik.

“Saat pergantian kekuasaan, kelompok-kelompok ini biasanya menguji batas. Sejauh mana mereka bisa bertindak, karena relasi kekuasaan sedang diatur ulang.”

Pendapat Ian Wilson ini, seolah terkonfirmasi dengan peristiwa ijazah Palsu Jokowi yang mengajak Rosario Hercules untuk bisa menghardik wartawan, “palsu…palsu, kepalamu yang palsu!”

Inilah realitas kita, para investor harus minta restu bukan ke pejabat, tapi ke penguasa informal yang tinggal di pos ronda, berkemeja safari dan punya kenalan anggota dewan atau menteri sekelas Bahlil. Preman di Indonesia bukan lagi sekadar pengganggu di terminal. Mereka kini bagian dari sistem.

Kalau dulu mereka merampas uang di pasar ikan, sekarang mereka memungutnya lewat proyek legal.

Di satu sisi, mereka disebut pengangguran tersingkir. Di sisi lain, mereka jadi aktor penting dalam “pengamanan” investasi nasional.
Kata orang, “Dari tukang palak jadi mitra strategis.” Upgrade kelas sosial hanya dengan rompi ormas dan stempel LSM.

Sementara gengster senior menjaga proyek-proyek tambang, generasi penerus mereka mulai “dibina” di barak militer.

Seorang siswa SMA asal Sukabumi, inisial R (16), dikirim ke barak militer Rindam III/Siliwangi karena ikut tawuran. Atas izin orang tuanya, R mengikuti pendidikan karakter selama dua minggu. Ia dilatih baris-berbaris, bela negara, dan pertolongan pertama.

Siswa lain, S (17), masuk barak atas kemauan sendiri karena sering telat sekolah. Ia berharap bisa berubah menjadi pribadi disiplin.

Total 210 siswa ikut program ini di gelombang pertama. Pemerintah Daerah Jawa Barat menjanjikan ini bukan hukuman, melainkan proses pembentukan mental. Bahkan ada jam belajar kurikulum sekolah selama dua jam setiap hari.

Kalau ini tak dibina dengan benar, maka akan lahir generasi baru gengster yang tak hanya brutal, tapi juga terlatih, disiplin, dan bersertifikat seperti preman plus-plus. Ia bisa menyanyikan lagu nasional atau berteriak “Assalamualaikum” sebelum mengancam subkontraktor.

Premanisme di Indonesia bukan persoalan pinggiran. Ia telah menjelma menjadi mata rantai kekuasaan.

Dulu mereka menjaga pasar, sekarang menjaga proyek negara. Dulu mereka rebutan lahan parkir, sekarang rebutan jatah proyek bansos. Dulu mereka merapat ke camat, sekarang ke caleg dan menteri.

Kekuasaan berubah, gengsternya tetap. Yang diganti cuma seragam dan warna kartu nama.

Bangsa ini ingin memimpin dunia dalam energi hijau, tapi jalan menuju sana dicegat ormas setempat. Kita ingin menarik investor global, tapi harus minta restu ke “tokoh pemuda” yang kerjanya main gaple.

Indonesia bukan kekurangan visi. Kita kekurangan keberanian untuk merapikan fondasi. Kalau ingin revolusi mobil listrik berhasil, yang perlu dibongkar bukan cuma tambang nikel, tapi juga tambang mental yang sejak lama menganggap pungli itu budaya. Gak percaya? Liat saja menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Selama itu belum dilakukan, jangan salahkan media asing kalau mereka menulis, “Indonesia disandera gengster.” Karena mereka hanya mencatat kenyataan yang kita diamkan.

Oleh : Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *