Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
(Catatan Lanjutan Menjelang Pembacaan Pledoi Gus Nur, Selasa, 28 Maret 2023 di PN Surakarta)
Sesungguhnya bagi siapapun yang mengindera proses penegakan hukum di negeri ini, baik ia dari kalangan awam apalagi jika ia berpendidikan, akan mendapati hukum tidak lagi menjadi sarana untuk memperoleh dan menegakkan keadilan. Hukum telah menjadi alat kekuasaan untuk membela kaum tertentu, dan menindas kaum yang lain. Fenomena Hukum tajam kebawah, tumpul keatas, tajam kepada siapapun yang mengkritik kezaliman rezim namun tumpul terhadap rezim dan para pendukungnya adalah fakta umum yang tidak terbantahkan.
Konfirmasinya diantaranya dapat dibuktikan melalui kasus-kasus kriminalisasi yang dialami oleh Habib Muhammad Rizieq Shihab, Haji Munarman, SH, Ustadz Heru Elyasa, Ali Baharsyah, Habib Bahar Bin Smith, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Ustadz Alfian Tanjung, Almarhum Ustadz Maheer at Tuwailiby, Zaim Saidi, Ustadzah Kinkin, Ahmad Dhani, Jonru, Buniyani, Rini Sulistiawati, Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah, Ustadz Anung al Hamat, Ustadz Abdul Qadir Hasan Baradja, dan masih banyak lagi.
Gus Nur sendiri hingga saat ini sudah empat kali di kriminalisasi : 1. Di Pengadilan Negeri Surabaya, 2. Pengadilan Negeri Palu, 3. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan saat ini ke 4 di Pengadilan Negeri Surakarta.
Sementara pada saat yang sama, Gerombolan Penebar Kebencian dan Permusuhan berdasarkan SARA, para penebar fitnah, pemecah belah kohesi sosial masyarakat, para penista agama seperti Ade Armando, Abu Janda, Sukmawati, Cornelis, Fictor Laiskodat, Deni Siregar, Si Kribo, hingga hari ini tidak pernah diproses dan sebagian kasusnya tidak pernah masuk ke persidangan.
Bahkan orang seperti Abu Janda sampai menantang siapapun yang bisa memprosesnya, seolah sedang mendemonstrasikan penghinaan terhadap kinerja aparat penegak hukum di negeri ini.
Koruptor Jiwasraya dibebaskan, kasus Bank Century mengambang, bahkan skandal BLBI yang telah menetapkan terpidana Safrudin Tumenggung dibebaskan. Syamsul Nur Salim dan Itjih Nur Salim dicabut status tersangkanya.
Berbagai kasus besar di negeri ini yang jelas-jelas merugikan rakyat, tidak diproses secara hukum.
Asas hukum yang yang Equel, Transparan, Imparsial, Akuntabel dan adil, sulit ditemui pada ranah praksis. Semua teori hukum jungkir balik, tak ada makna penegakkan hukum yang hakiki kecuali praktik penyalahgunaaan kekuasaan melalui sarana hukum untuk mengkebiri setiap kritik dan ujaran berbeda dari pihak-pihak yang kontra terhadap penguasa zalim.
Betapa banyak ujaran kasar, sarkas, menghina agama Islam, menistakan simbol dan ajaran Islam, melecehkan ulama, merendahkan marwah para pendakwah Islam tidak pernah diproses secara hukum. Padahal, laporan dan aduan telah dilayangkan kepada aparat penegak hukum.
Hukum ketika berhadapan dengan umat Islam menjadi represif, namun tak bertaji ketika menghadapi para penghina agama Islam. Pada saat yang sama, sengkarutnya persoalan negeri ini yang diakibatkan pelanggaran hukum yang nyata, seperti kasus korupsi, kasus kejahatan narkoba, kejahatan money loundry, kejahatan perdagangan orang, kejahatan pembalakan hutan, *kejahatan pencucian uang hingga Rp 300 triliun di Kemenkeu,* Kejahatan Korupsi Jiwasraya, Korupsi di lingkungan BUMN, korupsi diberbagai lini institusi Negara baik legislatif, eksekutif hingga Yudikatif tak mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum.
Aparat justru sibuk mengawasi aktivitas kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum yang menjadi hak konstitusional setiap warga negara, khususnya yang menggunakan sarana Sosial Media.
Sebelumnya represifme menggunakan pasal fitnah dan pencemaran (27 ayat 3), saat ini represifme UU ITE justru semakin masif dengan menggunakan pasal menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat (2) Jo. Pasal 45 ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Pasal 28 ayat (2) tentang pidana SARA ini dalam kajian kami sebut sebagai ‘pasal pukat harimau’.
Layaknya pukat harimau, yakni jaring besar yang ditarik dua kapal besar untuk menjerat dan menangkap semua model ikan, pasal 28 ayat (2) tentang pidana SARA ini esensinya juga sama. Pasal pukat harimau ini, digunakan untuk menjerat dan menangkapi banyak ulama, aktivis, dan para pengkritik rezim yang dituding menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA.
Di zaman Jokowi ini, semua kritik terhadap rezim atau organ yang pro rezim diklasifikasi dan dituding menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA. Para ulama yang konsisten mengemban amanah dakwah amar Ma’ruf nahi munkar, konsisten menyampaikan yang Haq adalah Haq dan yang batil adalah batil juga dituding menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA. Mereka, kemudian dijerat dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Pasal pukat harimau inilah, yang menjerat Ahmad Dani, Habib Bahar, Jonru, Ust Alfian Tanjung, Rini Sulistiawati, menjerat Kiyai Heru Ivan Wijaya, juga menjerat Gus Nur.
Pasal ini, menjadi langganan dasar kriminalisasi terhadap rakyat yang menyampaikan kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum melalui sarana ITE, karena dengan menetapkan Tersangka berdasarkan Pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE maka penyidik dapat menahan Tersangka karena ancaman pidana dalam pasal ini 6 (enam) tahun penjara, melebihi syarat minimum penahanan yang diatur KUHAP yakni minimal diancam dengan pidana 5 (lima) tahun penjara.
Dalam perkara ini, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri memperkarakan Mubahalah Gus Nur dengan UU ITE, yang hari ini telah pada tahap persidangan dan memasuki agenda Pembelaan.
Gus Nur dikasuskan dan didakwa dengan ketantuan Pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Gus Nur didakwa telah menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA melalui sarana Mubahalah.
Walau akhirnya, dalam tuntutannya, Saudara Jaksa Penuntut Umum meyakini pasal ini tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga tidak menuntut Terdakwa Gus Nur berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE.
Era selanjutnya, modus operandi kriminalisasi rezim Jokowi adalah dengan menggunakan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Setiap kritik, pendapat, dan perbedaan pandangan rakyat terhadap penguasa ditafsirkan sebagai kebohongan yang menerbitkan keonaran, sehingga ditangkap dengan dalih telah menyebarkan kabar bohong (hoax) dan menerbitkan keonaran dikalangan rakyat. Pasal ini, juga menjadi langganan untuk mengkriminalisasi rakyat karena ancaman pidananya 10 (sepuluh) tahun penjara.
Dalam kasus ini, Gus Nur dituntut secara maksimum oleh Saudara Jaksa Penuntut Umum dengan 10 (sepuluh) tahun penjara, karena dianggap telah menyebarkan kabar bohong dan menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, secara bersama-sama, sehingga dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan telah mememenuhi unsur pidana berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. *Tuntutan yang mengkonfirmasi adanya kedunguan dan dendam, persis sebagaimana dijelaskan oleh ahli filsafat, hukum dan HAM Rocky Gerung.*
Dungu, karena menuntut ujaran ijazah palsu sebagai kebohongan, padahal jaksa tidak dapat menghadirkan satu lembar pun ijazah asli milik Jokowi. Dendam, karena jaksa menggunakan tuntutan maksimum, yang tuntutan ini tidak pernah digunakan dalam kasus apapun.
Dalam kasus Jaksa Pinangki, Jaksa korup, penuntut umum hanya menuntut 4 tahun penjara. Padahal, Jaksa pinangki jelas-jelas telah merugikan Negara, melakukan korupsi. Mungkin, karena jiwa korsa dari korps kejaksaan, Pinangki hanya dituntut pidana 4 tahun, walaupun ancaman maksimumnya adalah 20 tahun penjara.
Sementara pada kasus Gus Nur, yang tidak merugikan Negara, tidak merugikan rakyat, bahkan membuka cakrawala dan logika rakyat justru dituntut 10 tahun penjara, yang merupakan ancaman maksimum dari pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.
Sejak awal, kasus ini penuh dengan nuansa pesanan kekuasaan. Karena narasi awal dari kasus ini bukanlah kasus terkait ijazah palsu, melainkan kasus penodaan agama menggunakan sarana Mubahalah.
Adapun untuk kasus pasal penodaan agama, yang sebelumnya telah digembar gemborkan media karena ada rilis dari Bareskrim, menurut jaksa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh Gus Nur. Hal mana terkonfirmasi dari tuntutan Jaksa, yang tidak menuntut Terdakwa Gus Nur dengan ketentuan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Hanya saja, nama baik Gus Nur sudah tercemar karena diedarkan kabarnya ke seantero negeri telah melakukan penistaan agama dengan sumpah Mubahalah.
Bersambung….