Miris, Stafsus Diangkat, Tenaga Honorer ASN di Rumahkan

News, Opini, Politik16 Views

Jakarta, PBSN – Rakyat Kecil Dirumahkan, Elit Diangkat: Efisiensi atau Pemborosan?

Di tengah wacana efisiensi anggaran yang digemakan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kita menyaksikan sebuah ironi besar. Ratusan tenaga honorer dan pegawai kontrak yang selama ini bekerja keras untuk menopang birokrasi negara, kini harus menghadapi pemecatan massal dengan alasan efisiensi.

Sementara itu, tanpa malu-malu, pejabat pemerintah justru sibuk mengangkat staf khusus dengan gaji dan fasilitas fantastis. Pertanyaannya, apakah ini benar-benar efisiensi, atau hanya kamuflase untuk melanggengkan kepentingan segelintir elit di lingkaran kekuasaan?

Di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sebanyak 437 tenaga honorer telah dirumahkan sejak 10 Februari 2025, dan jumlah ini diprediksi akan terus bertambah.

Di Bondowoso, sekitar 5.386 tenaga honorer kini dihantui ketidakpastian nasib mereka. Begitu pula dengan ribuan pegawai di berbagai daerah yang nasibnya terkatung-katung akibat kebijakan efisiensi anggaran yang tidak jelas arah dan sasarannya.

Di level nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengalami pemotongan anggaran dari Rp110,95 triliun menjadi Rp29,57 triliun. Meskipun pihak kementerian menyatakan bahwa tenaga non-ASN tetap terjamin, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ribuan pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka.

Lalu, di tengah krisis ini, Menteri Pertahanan dengan santainya mengangkat enam staf khusus baru, termasuk figur publik seperti Deddy Corbuzier.

Tidak berhenti di situ, kementerian lain pun melakukan hal serupa. Gaji pokok seorang staf khusus setara pejabat eselon I, yaitu sekitar Rp19.939.000 per bulan, ditambah tunjangan dan fasilitas lainnya, sehingga total penghasilannya bisa mencapai Rp25 juta per bulan atau lebih. Jika dibandingkan dengan gaji tenaga honorer yang berkisar Rp2 juta per bulan, maka satu staf khusus setara dengan gaji 16 pegawai honorer. Inilah yang disebut sebagai efisiensi setengah hati.

Kebijakan yang Tidak Berpihak pada Rakyat

Kebijakan pemecatan tenaga honorer ini tidak hanya berdampak pada individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada keluarga mereka. Ribuan keluarga kehilangan sumber penghasilan, anak-anak kehilangan biaya sekolah, dan masyarakat kehilangan pelayanan publik yang mereka butuhkan.

Di sekolah-sekolah, guru honorer yang selama ini mengisi kekosongan tenaga pendidik harus angkat kaki tanpa jaminan pengganti.

Di puskesmas-puskesmas, tenaga medis kontrak yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun kini dibiarkan menganggur. Efisiensi macam apa yang hanya menyasar kalangan bawah sementara di lingkaran atas, para pejabat masih bisa dengan santai membagi-bagikan jabatan staf khusus kepada rekan-rekan mereka?

Jika efisiensi anggaran benar-benar menjadi tujuan utama, mengapa tidak dimulai dari pemangkasan pos-pos yang tidak relevan seperti pengangkatan staf khusus yang jumlahnya berlebihan?

Mengapa tidak dimulai dengan menekan biaya perjalanan dinas pejabat yang kerap kali membengkak tanpa hasil konkret?

Mengapa justru rakyat kecil yang dikorbankan, sementara para elit tetap nyaman dalam posisi mereka?

Omong Kosong Efisiensi Bila Kabinet Gemoy Dilanjutkan

Kabinet Merah Putih yang digadang-gadang sebagai tim terbaik untuk menjalankan visi Prabowo ternyata malah menjadi pelaku utama dalam efisiensi omon-omon ini.

Alih-alih membuktikan keberpihakan pada rakyat, mereka justru semakin menegaskan bahwa politik di negeri ini masih berkutat pada kepentingan oligarki dan bukan kepentingan rakyat banyak.

Menteri Pertahanan Syafrie Syamsuddin, yang bertanggung jawab atas kebijakan pertahanan dan efisiensi anggaran pemerintah, yang seharusnya menjadi contoh dalam menegakkan disiplin anggaran, justru memimpin parade pengangkatan staf khusus yang tidak masuk akal. Meskipun kementerian pertahanan tidak kena pemangkasan, namun memutuskan untuk mengangkat beberapa stafsus telah mencederai hati publik.

Di saat rakyat harus berhemat, pemerintah justru boros dengan menunjuk stafsus yang tugas dan fungsinya pun masih dipertanyakan.

Lebih menyakitkan lagi, kebijakan ini bukan hanya terjadi di satu kementerian, tetapi menjadi tren di berbagai instansi pemerintahan. Rakyat semakin ditindas, sementara lingkaran kekuasaan semakin diperkaya.

Revolusi Kebijakan: Saatnya Menghentikan Ketidakadilan

Sudah saatnya kita menuntut keadilan. Efisiensi tidak boleh menjadi alat untuk menindas yang lemah dan menguntungkan yang kuat.

Jika benar-benar ingin melakukan efisiensi, pemerintah harus mulai dari penghapusan pos-pos pemborosan di kalangan elit, bukan dengan menyingkirkan rakyat kecil yang bekerja keras untuk menjalankan roda birokrasi.

Alih-alih merumahkan tenaga honorer, pemerintah harus segera mencari solusi yang lebih adil.

Jika memang ada niat baik, tenaga honorer yang telah mengabdi selama bertahun-tahun seharusnya diprioritaskan untuk diangkat menjadi ASN atau setidaknya diberikan pelatihan dan kesempatan kerja yang layak. Jangan hanya bicara soal efisiensi jika nyatanya itu hanya menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir orang.

Efisiensi sejati adalah efisiensi yang berpihak pada rakyat.

Jika pemerintah benar-benar peduli pada nasib bangsa ini, maka yang pertama harus dilakukan adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elit yang terus-menerus menikmati kenyamanan di atas penderitaan orang lain.

Catatan Penting: Miris Melihat Karyawan Honorer ASN Dirumahkan Namun Stafsus Malah Diangkat

Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah seharusnya bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan dana demi kepentingan rakyat.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan ironi besar: ratusan tenaga honorer yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri untuk negara justru dirumahkan dengan alasan pemotongan biaya, sementara pada saat yang sama, pemerintah malah mengangkat staf khusus dengan gaji dan fasilitas yang luar biasa.

Situasi ini mencerminkan ketimpangan struktural yang semakin tajam. Bagaimana mungkin mereka yang bekerja langsung untuk pelayanan publik kehilangan pekerjaan, tetapi mereka yang berada di lingkaran kekuasaan justru mendapatkan posisi baru dengan bayaran tinggi?

Keputusan seperti ini hanya mempertegas bahwa efisiensi anggaran yang diterapkan bukanlah efisiensi sejati, melainkan upaya untuk mempertahankan kepentingan elite sambil mengorbankan rakyat kecil.

Jika pemerintah benar-benar ingin menghemat anggaran, mengapa tidak mengurangi pengeluaran untuk jabatan-jabatan yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik? Mengapa harus tenaga honorer yang menjadi korban pertama dalam kebijakan ini?

Masyarakat berhak mendapatkan transparansi dan keadilan dalam setiap kebijakan yang dibuat, bukan hanya janji kosong yang berpihak kepada segelintir orang.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN VJ

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *