Oleh : Hafid Abbas
Wakil Rektor UNJ 1997-1999
Sebagai bagian dari tradisi akademik di perguruan tinggi, pada 4 Juli 2023, UNJ kembali lagi mengukuhkan tiga orang guru besarnya yakni: Prof. Dr. Suherman, S.E., M.Si sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dalam bidang Ilmu Managemen; Prof Dr Masduki, SH, MM, Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan dengan bidang Ilmu Manajemen Pendidikan; dan Prof Dr Supadi, Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan, juga dengan bidang Ilmu Manajemen Pendidikan.
Meski mereka memiliki bidang kepakaran yang berbeda, ketiganya dalam orasi ilmiahnya mengangkat tema besar yang terkait dengan pemberdayaan perempuan, promosi karier di urusan kependidikan, dan mutu pendidikan. Ketiga isu mendasar ini dikemukakan seperti berikut.
Pertama, Suherman dalam orasinya tentang Peran Eksekutif Perempuan dalam Kebijakan dan Kinerja Perusahaan mengangkat sejumlah studi yang dilakukan di AS dan Eropa tentang kehadiran perempuan di dewan perusahaan yang dianggap sebagai indikator tata kelola perusahaan yang lebih baik. Thornton (2022) sebagai salah satu organisasi konsultan terbesar di dunia, merilis data 12 tahun terakhir mengenai proporsi perempuan di dewan manajemen di banyak negara. Data tersebut menunjukkan peningkatan proporsi perempuan di jabatan kepemimpinan yang semakin membaik, mencapai angka 32%, terjadi peningkatan 8% dalam satu dekade terakhir. Bahkan di Asia Tenggara, peroporsinya terlihat lebih tinggi lagi yakni sebesar 37%.
Meski reputasi profesional perempuan terlihat lebih unggul, namun akibat cara pandang kultural masyarakat, Suherman melihat promosi perempuan ke jabatan eksekutif belum setara dengan laki-laki. Demikian pula pada sektor keuangan dan bisnis.
Namun, Muhammad Yunus (1976) dari University of Dhaka telah berani membuat terobosan menembus hambatan kultural itu di negaranya. Caranya, Yunus memberi pinjaman tanpa jaminan hanya kepada perempuan-perempuan miskin perajin bambu di Bangladesh. Dimulai di Jobra, satu desa miskin dekat Chittagong University, para perajin tidak memiliki modal untuk membeli bambu. Mereka tidak tersentuh dengan bantuan perbankan (unbankable) karena tidak mempunyai agunan. Yunus ternyata berhasil mengatasi masalah ini dengan menggandeng Janata Bank untuk menyalurkan bantuannya sebesar USD 27 (Rp 405.000) kepada masing-masing 42 perempuan miskin itu.
Ternyata mereka masing-masing dapat membayar kembali pinjamannya dan bahkan memberi keuntungan ke bank sebesar USD 0,02 (Rp 3000). Atas keberhasilan itu, pada 1982, bantuan serupa diperluas jangkauannya kepada 28.000 perempuan miskin. Selanjutnya pada 1 Oktober 1983, proyek Yunus sudah sepenuhnya didukung oleh Grameen Bank (Bank Rakyat), dan pada Juli 2007, bank ini sudah menjangkau 7,4 juta penduduk miskin (94% wanita) dengan dukungan dana sebesar USD 6,38 miliar (Rp 95,7 trilun).
Yang menarik dari terobosan Yunus, tingkat pengembalian pinjaman (micro credit) itu mendekati 100%. Keberhasilan ini kemudian diperluas ke penyaluran bantuan kepemilikan HP (village phone) kepada 260 ribu penduduk msikin sehingga tumbuh jaringan bisnis dan usaha ekonomi mikro bagi perempuan-perempuan di 50 ribu desa dan kelurahan di seluruh Bangladesh (wikipedia.com).
UNJ kelihatannya, melalui kepeloporan Suherman bersama koleganya, dapat pula melakukan usaha serupa dengan Yunus lewat lembaga penelitian dan pengabdian masyarakatnya untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan.
Kedua, Masduki dalam orasi ilmiahnya mengangkat isu Penerapan Manajemen Talenta di Lingkungan Perguruan Tinggi. Manajemen talenta sebagai upaya strategis yang dilakukan secara sistematis guna mempertahankan dan mengelola keunggulan SDM dari level bawah hingga atas untuk mencapai keunggulan kompetitif organisasi, ternyata belum banyak dilakukan di dunia pendidikan.
Kerisauan Masduki tersebut cukup beralasan karena promosi jabatan yang terjadi selama ini mengingkari konvensi UNESCO dan ILO (1966): “Posts of responsibility in education, such as that of inspector, educational administrator, director of education or other posts of special responsibility, should be given as far as possible to experienced teachers.” (alinea 43).
Jelas sekali rekomendasinya, semestinya, semua jabatan di urusan pendidikan, seperti: kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, direktur, termasuk menteri pendidikan, atau jabatan apa saja yang terkait dengan urusan pendidikan, haruslah sesuai dengan rekomendasi dua badan PBB, yaitu diprioritaskan kepada mereka yang sudah berpengalaman sebagai guru karena mereka tentu sudah mengerti urusan pendidikan.
Promosi karier dan jabatan kepemimpinan pendidikan terlihat belum berbasis talenta seperti direkomendasikan oleh PBB. Misalnya, ada Pemda yang mengisi jabatan kepala dinas pendidikan di daerahnya dari mereka yang berpengalaman di urusan pengelolaan pasar, ada juga dari urusan pemakaman, dsb. Bahkan di tingkat pusat di masa lalu, jabatan penting di urusan pendidikan diisi dari seorang ahli rayap, ada juga ahli batuan, ahli air dan berbagai bidang keahlian lainnya yang jauh dari ranah keilmuan di bidang pendidikan.
Kekacauan seperti ini biasanya terjadi di negara gagal atau yang dilanda konflik berkepanjangan sehingga semua jabatan di pemerintahan dilihat sebagai urusan politik. Misalnya di Israel, jabatan Menteri Kehakiman (2015-2018) pernah diisi oleh seorang insinyur listrik bernama Ayelet Shaked. Jelas urusan lsitrik tentu amat berbeda dengan urusan peradilan.
Kerisauan serupa dalam promosi jabatan yang tanpa pola diungkap pula oleh Katerina Tomasevski, Pelapor Khusus PBB untuk pendidikan di Indonesia (2002). Dalam laporannya, ia mengungkapkan bahwa, meski jumlah guru perempuan di SD 53% dari seluruh jumlah guru, tetapi yang dipromoskikan sebagai Kepala Sekolah hanya 27%. Di jenjang SLTP, dari 43% guru perempuan, tapi hanya 11% yang dipromosikan. Demikian pula di jenjang SLTA, 34% guru perempuan hanya 10% yang mendapat promosi.
Akibatnya, dengan pola promosi tanpa blueprint atau tanpa pertimbangan latar belakang keahlian dan talenta, meski anggaran pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN dan APBD, ternyata tidak terlihat dampaknya pada perbaikan mutu. Bank Dunia, bahkan dalam publikasinya: ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia (2013)”, menunjukkan bahwa para guru yang telah memperoleh tunjangan sertifikasi dan yang belum ternyata memperlihatkan prestasi yang relatif sama. Program sertifikasi guru yang diselenggarakan selama ini yang menghabiskan dana ratusan triliun rupiah, ternyata tidak bermanfaat bagi peningkatan mutu pendidikan nasional (hal 68).
Data lain, prestasi anak-anak Indonesia di ajang Programme for International Student Assessment (PISA, 2018) begitu rendah. Terdapat sekitar 600 ribu siswa yang berpartisipasi di gelanggang kompetisi internasional itu, hasilnya, skor membaca mereka berada di peringkat 72 dari 77 negara; skor matematika di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains di peringkat 70 dari 78 negara (Kemdikbud, 4/12/2019). Bahkan di lingkup ASEAN saja, Indonesia berada di urutan kedua terendah dari 10 negara anggota ASEAN, hanya melampaui Filipina.
Keadaan yang lebih buruk dapat saja terjadi di PISA 2023 akibat pandemi covid-19 yang baru saja dilewati.
Ketiga, Supadi dalam orasinya menyoroti Pengembangan Model Assesmen Kepemimpinan Digital Kepala Sekolah. Munculnya pandemi COVID-19 telah mengubah proses pembelajaran di sekolah dari konvensional tatap muka ke tatap maya dengan penggunaan perangkat teknologi digital. Teknologi ini bukan lagi sekedar perangkat tambahan, tetapi telah menjadi media instruksional yang berfungsi lebih dari sekedar memindahkan kelas tatap muka menjadi kelas on-line. Di sinilah peran kepala sekolah sebagai pemimpin teknologi diperlukan untuk menjamin percepatan integrasi Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) ke dalam semua pembelajaran dan mata pelajaran di sekolah.
UNJ dengan pusat sumber belajarnya (PSB) memiliki sejarah panjang sejak di era Orde Baru sebagai salah satu penghasil produk-produk pembelajaran yang inovatif yang ditayangkan di Televisi Pendidikan Indonesia. Pengalaman panjang itu hingga kini tetap terawat, dan dapat membantu sekolah-sekolah mana saja yang mengalami kesulitan mengelola kebiatan pembelajarannya yang berbasis teknologi digital untuk meningkatkan mutu pendidikannya secara berkelanjutan.
Semoga ke depan, tidak akan pernah ada lagi pihak yang main-main dengan urusan pendidikan karena taruhannya terlalu besar bagi keselamatan hari depan kita bersama.