LANGKAH ANTISIPASI RISIKO DARI EKONOMI GLOBAL 2024

Opini1364 Views

Oleh : Henry Nosih Saturwa
Analis Senior Bank Indonesia

Baru saja kita memasuki 2024 dengan penuh optimisme karena prospek ekonomi nasional makin membaik dibandingkan sebelumnya. Hal ini terlihat dari beberapa indikator makroekonomi antara lain pertumbuhan ekonomi dengan trend meningkat, inflasi yang stabil serta terjaganya stabilitas eksternal.

Namun, pada 2024 situasi ekonomi global tampaknya masih belum sepenuhnya pulih. International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan menyusut menjadi 2,9% (year-on-year/YoY) pada 2024, lebih rendah dari proyeksi 2023 yang tumbuh sebesar 3,00% (YoY).

Fenomena risiko penurunan ekonomi global beserta dampaknya telah dipotret oleh World Economic Forum (WEF) melalui “The Global Risks Report 2024”. Dalam laporannya, disebutkan bahwa economic downturn masuk sepuluh besar risiko global yang akan berdampak pada peningkatan ketidakpastian dalam dua tahun ke depan. Salah satu pemicu yang menurunkan kinerja ekonomi global saat ini yaitu gejolak perekonomian di dua raksasa ekonomi dunia yang sedang mengalami masa transisi pascapandemi yaitu Amerika Serikat (AS) dan China.

AS sedang mengalami pemulihan ekonomi yang cepat sehingga angka inflasi masih di atas sasaran meskipun telah melandai. Perlu diwaspadai, AS mempunyai permasalahan pembiayaan utang yang mendorong kenaikan pagu utang tiap tahun sehingga berpotensi menjadi “bom waktu” yang memperparah ketidakpastian keuangan global.

Terjadinya gagal bayar surat utang AS akan mendorong efisiensi pengeluaran pemerintah yang pada akhirnya menurunkan konsumsi termasuk komoditas impor. Kondisi ini akan memberikan spilover effect negatif karena volume permintaan komoditas global akan turun lebih dalam.
Di sektor keuangan, terjadinya gagal bayar utang pemerintah akan mendorong peningkatan imbal hasil US treasury untuk menjaga pasar keuangan tetap menarik. Kenaikan yield tersebut dapat memicu terjadinya capital outflow portfolio modal asing yang pada akhirnya berdampak pada pelemahan nilai tukar mata uang negara berkembang termasuk Indonesia.

Bloomberg mencatat, imbal hasil US treasury saat ini untuk tenor 10 tahun berada di kisaran 4,1% atau masih lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya di kisaran 3,5%, meskipun mulai turun secara bertahap. Fenomena ini menunjukkan bahwa masih adanya risiko tekanan nilai tukar yang dipicu oleh naiknya yield US treasury meskipun sudah mulai melandai.
Pada periode yang sama, di China sedang mengalami penurunan konsumsi rumah tangga dan kinerja investasi sebagai dampak lanjutan dari krisis properti yang terjadi sejak 3 tahun terakhir.

Hasil penelitian IMF pada 2021, sektor properti dan industri pendukungnya berkontribusi 25%—30% terhadap PDB China. Temuan tersebut membawa konsekuensi bahwa penurunan kinerja sektor properti akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian China secara agregat. Hal tersebut terkonfirmasi dari proyeksi pertumbuhan ekonomi China yang turun menjadi 4,2% pada 2024, lebih rendah dibandingkan 2023 yang diproyeksikan mencapai 5% berdasarkan perhitungan IMF.

Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi China membawa konsekuensi terhadap turunnya permintaan komoditas dan bahan baku impor di Negara Panda. Selanjutnya, kondisi ini akan berdampak pada penyusutan permintaan ekspor bahan baku termasuk dari Indonesia. Data BPS menunjukkan nilai ekspor nonmigas nasional pada Desember 2023 sebesar US$242,90 miliar, mengalami penurunan 11,96% (YoY) dibandingkan dengan tahun sebelumnya mencapai US$275,91 miliar.
Perlu dicermati, porsi ekspor komoditas nonmigas nasional sebesar 25,66% bertujuan ke China pada 2023. Hal ini berimplikasi pada penurunan pertumbuhan ekonomi di China berkorelasi terhadap risiko turunnya kinerja perdagangan nasional ke depan.

Fenomena ketidakpastian yang masih tinggi, telah direspons melalui beberapa inovasi kebijakan pemerintah antara lain, agenda reformasi struktural dengan penekanan pada peningkatan porsi penggunaan produk dalam negeri untuk menggerakkan ekonomi lokal sekaligus menyerap tenaga kerja. Kebijakan mendorong penghiliran produk mineral yang memberikan nilai tambah maksimal untuk diekspor sehingga turut memperkuat devisa nasional.

Di sisi regulasi, pemerintah telah mengatur penempatan devisa hasil ekspor dari pengelolaan dan/atau pengolahan sumber daya alam (DHE SDA) untuk meningkatkan likuiditas valas dalam negeri melalui PP No. 36 tahun 2023.
Bank Indonesia juga menerbitkan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUKBI). Kedua jenis sekuritas tersebut merupakan instrumen operasi pasar valas yang pro-market untuk mendukung pendalaman pasar keuangan sekaligus menarik capital inflows dan mendukung stabilitas nilai tukar. Semoga dengan ikhtiar maksimal, perekonomian Indonesia tetap cerah di tengah “gelapnya” prospek ekonomi global di tahun 2024.