FENOMENA GEOPOLITIK PANGAN

Opini1409 Views

Oleh : Imron Rosyadi
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada suatu kesempatan Bung Karno pernah berpesan bahwa “persoalan pangan adalah persoalan hidup dan matinnya suatu bangsa”. Pesan itu secara eksplisit merupakan peringatan bagi pemerintah untuk menegakkan kedaulatan pangan di wilayah NKRI.

Hal itu mengingat negara wajib bertanggungjawab menyediakan pangan bagi 277,43 juta jiwa, atau 42,43 persen dari total penduduk ASEAN. Beban ini tidak sebanding dengan negara ASEAN laninya seperti, Philipina (15,41 persen), Vietnam (14,65 persen) dan Thailand (11,48 persen).

Secara implisit, pesan itu menyiratkan kerisauan sang proklamator terhadap nasib bangsa, ketika kelak menghadapi ketegangan geopolitik pangan, dan mewaspadai Indonesia menjadi episentrum ketegagan tersebut.
Wilayah Ekuator
Merujuk literatur, makna geopolitik mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan teknonogi informasi, dan konteks historis. Namun terdapat 4 karakter utama studi geopolitik, yakni strategi ekspansionis, penguasaan sumber daya, menciptakan negara hegemoni, dan perang terbuka antar negara (lemhannas, 2022).

Geopolitik pangan adalah aksi suatu negara atau aliansi negara yang berupaya mendominasi kebutuhan pangan di suatu negara. Dalam konteks itu, negara-negara terbagi menjadi dua kelompok, yakni negara yang mengontrol, dan negara yang dikontrol kondisi-situasi pangannya.

Geopolitik pangan tersebut bagi NKRI menjadi ancaman serius, sebagaimana “tesis” yang pernah dipaparkan seorang mantan panglima TNI dalam suatu kesempatan. Mantan panglima tersebut merinci bahwa perang pangan, air dan energi, atau perang ekonomi dimasa depan akan mejadi kenyataan, lantaran Indonesia sebagai salah satu negara yang terletak di kawasan ekuator.
Tesis tersebut dinilai logis karena didasarkan pada fakta kekinian di era kompetisi global terkait dengan krisis pangan, energi, sumber air dan perampasan tanah. Serta sensitifitas sikap seorang panglima TNI sebagai pucuk pimpinan institusi negara yang bertanggungjawab terhadap ketahanan negara.

Terdapat sejumlah fenomena global yang menandai dan/ atau mengarah pada terjadinya geopolitik pangan. Pertama, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina, yang belum ada tanda-tanda mereda, memiliki dampak langsung terhadap stabilitas pasokan pangan dunia. Sebab Rusia dan Ukraina merupakan negara produsen terbesar komoditas gandum, jagung dan beberapa jenis minyak nabati.
Kedua, anjloknya produksi minyak bumi dunia, memicu negara-negara raksasa (AS dan Tiongkok) untuk mencari sumber-sumber energi alternatif berbasis non fosil (biofuel). Sumber energi hayati yang dipandang layak menggantikan energi fosil adalah kelapa sawit, jagung, singkong dan kedelai.
Jenis tanaman tersebut mudah tumbuh di negara-negara ekuator, terutama Indonesia, yakni wilayah (lahan) yang memiliki potensi vegetasi (cocok tanam) sepanjang tahun. Alhasil, Indonesia menghadapi ancaman menjadi negara yang diperebutkan negara-negara asing sebagai lokasi dan produksi biofuel untuk menutupi kebutuhan energi negara asing. Hal itu berarti asing mengontrol kondisi dan situasi pangan dalam negeri.
Ketiga, proyek-proyek energi non fosil itu memicu krisis pangan dunia, lantaran sumber-sumber pangan sebagaian besar sudah dialihkan untuk menutupi kebutuhan energi dunia. Padahal pertumbuhan populasi “perut” penduduk dunia sangat mencengangkan, yakni mencapai 8 miliar jiwa pada 2023, padahal konon idealnya bumi hanya mampu menampung penduduk dunia sekitar 3–8 miliar manusia.
Situasi itu diperburuk pada 2043 bakal terjadi ketimpangan antara penduduk dunia yang menghuni wilayah ekuator dan non-ekuator, yakni dari 12,3 milar penduduk dunia, yang menghuni daerah ekuator hanya mencapai 2,5 miliar jiwa, sementara selebihnya 9,8 milair manusia di daerah non-ekuator. Fenomena itu juga yang diyakini akan menyulut perang pangan, atau boleh juga disebut sebagai “perang tanah”.
Ambilalih Tanah
Keempat, sejak mulai pulihnya krisis finansial 2008, mencuat fenomena global teranyar yang disebut sebagai perampasan tanah secara masif (massive land grabbing), yakni sebuah model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara-negara miskin atau negara berkembang oleh korporasi multinasional.
The Economist (2019) melaporkan bahwa sejak tahun 2006, ada sekitar 37- 49 juta hektar yang telah berhasil diambilalih, dan jumlah ini diprediksi akan terus melonjak di masa mendatang.
Lund University Swedia (2021) menguatkan prediksi tersebut, dan melaporkan bahwa dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah.
Sementara itu, negara yang paling banyak terlibat adalah Tiongkok, yakni bertransaksi dengan 33 negara, Inggris (30 negara) dan AS (28 negara), sedangkan destinasinya adalah negara-negara di Afrika dan Asia.
Kelima, strategi lima negara ASEAN (Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos) yang membangun aliansi pengekspor beras, merupakan penetrasi penguasaan pasar pangan domestik. Sebaliknya, belum satu pun inisiatif penetrasi sistematis dilakukan pihak Indonesia terhadap negara-negara tersebut.
Secara wilayah teritorial, Indonesia juga dikepung oleh negara-negara yang tergabung dalam perjanjian kerjasama pertahanan persemakmuran Inggris (Five Power Defence Arangement) yakni Selandia Baru, Australia, Malaysia, Singapura dan Inggris.
Dengan demikian seluruh komponen bangsa harus bersatu padu mewaspadai terjadinya perang pangan di wilayah nasional, dan pemerintah harus menyusun strategi jitu untuk memenangkan geopolitik pangan.
Kebijakan yang mendesak misalnya menggulirkan regulasi yang membatasi dan/ atau melarang kepemilikan tanah/lahan/properti oleh pihak asing baik perorangan, mapun korporasi. Serta ‘mempersenjatai’ petani domestik dengan pengetahuan, skill agripreneur, dan teknologi pertanian yang memadai. Waspadalah!