Oleh : Joko Tri Haryanto
Direktur Utama BPDLH Kemenkeu
Pemerintah telah mendirikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sejak 2019. Pembentukan lembaga ini merupakan amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Di level teknis, penguatan regulasi diatur dalam PP No. 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) serta Perpres No. 77/2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (PDLH).
Oleh banyak pihak, kelembagaan BPDLH dianggap menjadi terobosan baru dalam pengelolaan dana publik melalui penunjukkan dan penetapan bank kustodian sebagai wali amanat (trustee).
BPDLH juga menandai era penyatuan pengelolaan dana lingkungan hidup di Indonesia secara profesional, transparan dan akuntabel.
Meski berlabel dana lingkungan hidup, sektor yang dikelola meliputi beberapa area: kehutanan dan lahan gambut serta mangrove, pertanian, industri, transportasi dan energi.
Pemilihan sektor-sektor tersebut merepresentasikan area yang menjadi target komitmen pemerintah dalam pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) di 2030.
Jika merujuk UU No. 16/2016 tentang Ratifikasi Persetujuan Paris, disebutkan bahwa pemerintah berkomitmen dalam NDC Indonesia, menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan pendaaan domestik serta 41% dengan tambahan bantuan internasional.
Pada 2022, target tersebut dinaikkan melalui penerbitan dokumen Enhanced NDC (E-NDC) menjadi 31,8% dengan pendaaan domestik serta 43,2% tambahan internasional.
Status E-NDC ini menjadi bukti nyata Indonesia berada di garis terdepan dalam upaya mengatasi krisis iklim dunia.
Dalam menjalankan bisnisnya, BPDLH memiliki fungsi penghimpunan, pemupukan dan penyaluran dana. Sumber-sumber pendanaan yang dapat dihimpun oleh BPDLH terdiri dari dana publik (APBN/APBD), private, filantropi, NGO, serta dana internasional.
Merujuk kepada beleid PP No. 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, BPDLH memiliki fleksibilitas dalam penerapan praktek-praktek bisnis yang sehat demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Dalam mendistribusikan manfaat, BPLDH juga lebih fleksibel hingga ke unit bisnis terkecil di level masyarakat tapak selain entitas penerima yang existing.
Dilihat dari dokumen Rencana Strategi Bisnis (RSB), tujuan utama berdirinya BPDLH tentu berupaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan ketahanan masyarakat.
Di periode awal beberapa tema program yang menjadi prioritas utama diantaranya:
1) pengelolaan hutan, lahan dan ekosistem berkelanjutan; 2) energi terbarukan, transportasi dan pengembangan kota rendah emisi;
3) pengendalian polusi, pengelolaan limbah, industri hijau dan sirkuler ekonomi;
4) kesehatan, ketahanan pangan dan air;
5) adaptasi dan pengelolaan risiko bencana.
Dalam upaya memberikan kepastian dan ketepatan alokasi, BPDLH membentuk akun terpisah (segregated account) dari masing-masing jenis pengelolaan dana yang telah disepakati. Penamaan akun mengikuti skema jendela (window) pendanaan yang ada misalnya: window REDD+, energi, FOLU dan seterusnya.
Meski definisi lingkungan hidup tidak terbatas hanya di sektor kehutanan semata, harus diakui hingga saat ini masih terdapat gap yang besar dengan window sektor non-kehutanan.
Window pendanaan yang banyak di kelola BPDLH hingga saat ini memang masih dominan di sektor kehutanan khususnya REDD+.
Meskipun demikian, BPDLH tentu terus berupaya agar dapat menciptakan keseimbangan antar-window. Sudah dimulai kerja sama dengan lembaga filantropi seperti Ford Foundation melalui pembentukan Dana TERRA yang ditujukan untuk pengembangan masyarakat.
Adapun tujuan utama dari pengelolaan Dana TERRA adalah peningkatan kapasitas masyarakat sekaligus mendorong inisiasi usaha komunitas skala kecil yang ramah lingkungan. Di tahap awal, tujuh lembaga perantara sudah bermitra dengan target penerima manfaat sekitar 41 desa.
Perluasan skala dan pengembangan kerjasama tentu sangat terbuka untuk terus diinisiasi dengan mempertimbangkan kinerja yang relatif signifikan.
Sektor energi juga sudah mulai ditata melalui pengelolaan dana energi bersih yang terjangkau dan berkeadilan.
Bersumber dari pendanaan lembaga internasional Global Environment Facility (GEF), skema pendanaan energi ini diharapkan dapat menjadi insentif baru dalam mendorong investasi PLTS atap oleh masyarakat sekaligus meningkatkan level bauran energi baru terbarukan nasional dengan menyasar industri kecil serta kelas sosial.
Terkait pengelolaan dana kebencanaan, BPDLH juga sudah mendapatkan amanah yang nantinya akan digunakan sebagai pembayaran awal premi asuransi beserta skema pendanaan bencana baik pra, periode kejadian serta pascakejadian.
Skema pengelolaan dana kebencanaan ini diharapkan dapat menciptakan mekanisme polling fund kebencanaan dari berbagai sumber sebagai upaya mitigasi dampak bencana yang kerap terjadi di Indonesia. Kondisi existing yang ada, dari keseluruhan bencana tersebut selalu hanya mendasarkan atas pendanaan pemerintah semata (APBN/APBD).
Dengan demikian eksistensi pengelolaan dana kebencanaan jelas akan mengurangi eksposur dan tekanan terhadap APBN/APBD ketika terjadi bencana.
Bisnis masa depan yang menjadi prioritas lain dari BPDLH adalah pengelolaan dana perdagangan karbon.
Meramu porsi keterlibatan BPDLH dalam membagikan manfaat hasil perdagangan karbon sudah diamanatkan baik melalui Perpres Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) maupun petunjuk pelaksanaan di level menteri.
Pembagian hasil perdagangan karbon bagi seluruh pelaku dapat berupa penguatan kapasitas, pembentukan ekosistem sekaligus penciptaan enabling kondisi yang dibutuhkan.
Jika peran tersebut dapat dimainkan dengan baik maka Indonesia diyakini akan menjadi salah satu negara terdepan dalam isu perdagangan karbon di level global.