Indonesia Juara Pengangguran di ASEAN: Alarm Serius bagi Ekonomi Kita

News, Sosial81 Views

Jakarta, PBSN – Dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis oleh International Monetary Fund (IMF) edisi April 2024, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara besar di Asia Tenggara. Fakta ini mengejutkan sekaligus menyedihkan. Bukan hanya karena posisi itu mencoreng citra Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di kawasan, tapi juga karena ini menjadi potret nyata kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi makro dan kenyataan di lapangan.

Tingkat pengangguran terbuka Indonesia tercatat mencapai 5,9%, lebih tinggi dibandingkan Filipina (5,4%), Malaysia (3,5%), Vietnam (2,3%), Thailand (1%), dan Singapura (1,9%). Angka ini memang tampak kecil jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya di luar ASEAN. Namun dalam konteks regional, posisi ini menandakan kegagalan struktural dalam menyerap tenaga kerja yang semakin melimpah tiap tahunnya.

Yang lebih ironis, pengangguran tidak hanya terjadi di kalangan lulusan pendidikan dasar atau menengah. Di berbagai bursa kerja yang diadakan pemerintah maupun swasta, antrean panjang pelamar dengan gelar S1 bahkan S2 menjadi pemandangan umum. Ribuan orang dengan latar pendidikan tinggi berebut posisi staf entry-level dengan gaji minimum. Ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi, yang dulu dianggap sebagai kunci menuju kesejahteraan, kini tak lagi menjamin seseorang mendapat pekerjaan layak.

Lalu, apakah ini semata soal kurangnya lapangan kerja? Ataukah ada faktor eksternal yang memperparah situasi ini?

Salah satu aspek yang patut dikritisi adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sepanjang 2024, rupiah sempat menyentuh angka Rp16.300 per USD, level terendah sejak krisis global 2008. Melemahnya rupiah tidak hanya berdampak pada naiknya harga barang impor, tetapi juga menurunkan kepercayaan investor asing. Banyak perusahaan berbasis investasi luar negeri memilih menarik dana atau menghentikan ekspansi bisnisnya. Akibatnya, pabrik tutup, proyek berhenti, dan gelombang PHK tak terelakkan.

Kondisi ini diperparah dengan daya beli masyarakat yang kian menurun. Perusahaan tidak bisa sekadar menyerap tenaga kerja jika permintaan terhadap barang dan jasa merosot. Dunia usaha stagnan, sementara pemerintah tampak belum memiliki strategi jitu yang responsif dalam menciptakan lapangan kerja baru berbasis industri kreatif, digital, atau transisi energi.

Tingginya angka pengangguran seharusnya menjadi sinyal kuat bagi pemerintah untuk mereformasi kebijakan ketenagakerjaan, meningkatkan insentif bagi pelaku industri domestik, dan memperbaiki iklim investasi. Tak kalah penting, reformasi sistem pendidikan tinggi pun harus dipercepat agar lulusan perguruan tinggi tak hanya siap menjadi pekerja, tetapi juga pencipta lapangan kerja.

Jangan sampai Indonesia terus menjadi “juara” dalam statistik yang seharusnya dihindari. Di tengah bonus demografi, kegagalan menyerap tenaga kerja justru dapat berubah menjadi bencana sosial jangka panjang.

Oleh: Ririe Aiko

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *