Jakarta – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan DPR RI pada Selasa (6/12/22) kembali menuai kontroversi.
Setelah tiga tahun silam RKUHP tersebut memicu gelombang demonstrasi besar di berbagai kota, rupa-rupanya sodoran terbaru dari RKUHP yang kini telah diundangkan itu belum juga mendengarkan aspirasi publik secara seksama.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Buruh, Ilhamsyah mengatakan bahwa dalam KUHP baru ini masih tersedia tidak sedikit pasal-pasal bermasalah dan menjauh dari semangat demokrasi dan kebebasan sipil.
“Semangat awal KUHP ini adalah upaya dekolonialisasi. Sayangnya, elite politik yang diwakili pemerintah dan DPR masih berjalan diatas logikanya sendiri. Logika kekuasaan. Semangat menjadikannya sebagai karya besar bangsa sendiri, dan dekolonisasi terhadap KUHP lama malah raib,” ujar Ilhamsyah yang biasa disapa Boing itu, Jum’at (9/12/22).
Ilhamsyah menyebut ada beberapa pasal-pasal serius yang mengancam kebebasan sipil dan menjauh dari tata hubungan negara dan rakyat dalam bingkai negara modern.
Pertama kata dia, terkait Living Law yang terdapat dalam Pasal 2.
Pasal ini jelas dia, berbahaya sebab tidak ada batasan yang jelas mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Siapapun dapat dipidana bila ia melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang-orang yang tinggal di lingkungannya.
Hal itu lanjut dia, membuka peluang ruang persekusi dan main hakim sendiri terhadap siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di lingkungan, meskipun perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan.
“Indonesia memiliki keragaman budaya dan adat.
Sementara KUHP justru berpotensi mengkriminalisasi aktivitas publik tertentu dengan alat ukur yang tidak jelas,” ujarnya lagi.
“Misal ada penguasa atau siapapun yang tak suka melihat perempuan keluar di atas jam 9 malam. Itu bisa dikriminalisasi lo! Lah, bagaimana dengan buruh perempuan yang kerja shift malam? Yang dengan presepsi tertentu dianggap perilaku yang tidak sesuai dengan norma umum di satu wilayah. Ini kan rentan,” sambungnya.
Selain Living Law, Ilhamsyah juga menyorot pasal penghinaan presiden yang menurutnya pasal ini justru sangat beraroma kolonial.
“Di negara demokratis pasal seperti ini memang sebagian masih ada. Tapi derajat penggunaannya sangat minimum, bisa dikata sudah tidak dipakai. Lah kita bikin KUHP baru di Abad 21 malah memasukkan pasal usang seperti ini. Pasal yang dulu dibuat pemerintah kolonial untuk membekuk pejuang kemerdekaan. Tubuh presiden itu tubuh publik. Dia dipilih oleh rakyat, jadi rakyat berhak untuk menyeruakan apa yang ada dalam pikirannya terkait presiden,” terangnya.
Sebut dia, pasal penghinaan tidak hanya menyangkut presiden, juga terkait lembaga negara lainnya.
Pada pasal 349 ayat 1 RKUHP disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.
“Kalau Anda sudah menjadi pejabat publik, ya gak boleh tipis telinga. Jangan sedikit-sedikit sensi. Saat Amerika dibawa ke Perang Iraq misalnya, sebuah band di sana membuat lagu American Idiot. Kebodohan yang membawa malapetaka. Yang kemudian diidentikan dengan kebijakan Bush pasca 911. Pejabat publik kan dihidupi dari uang rakyat, mendapat fasilitas lebih dan ragam privelege. Sementara rakyat kan tidak mendapat itu. Jadi, biarkan rakyat menikmati kebebasan sipil yang menjadi haknya!,” jelas Boing.
Dia juga menyinggung Pasal 342 dalam KUHP terkait lingkungan.
Dia menilai pasal ini tidak tepat, karena Indonesia sudah memiliki UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.
“Pengaturan tentang lingkungan di KUHP justru melemahkan penegakan hukum pidana lingkungan, salah satunya menyulitkan pembuktian karena unsur pasalnya tidak spesifik,” imbuhnya.
Ketua Bapilu dari partai yang mengandalkan demonstrasi sebagai salah satu metode perjuangan, Ilhamsyah juga menyorot pasal yang membuat aturan unjuk rasa menjadi semakin rumit.
Unjuk rasa sebagai sarana penyaluran aspirasi dalam negeri demokratis papar Boing, seharusnya diatur semudah dan seringkas mungkin sepanjang tidak ada tindak kriminal tak ada alasan untuk dipersulit.
“Pada akhirnya, kebebasan sipil dan demokrasi merupakan buah perjuangan anti otoritarianisme Orde Baru di masa lalu. Kebanyakan elite yang berkuasa saat ini tidak terlibat dalam perjuangan tersebut, kecuali turut menikmati manisnya. Sehingga menjadi penting untuk merawat kebebasan sipil dan demokrasi, termaksud dalam hukum positif yang dibuat oleh negara,” pungkasnya.
(Red)