Ankara – Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan bahwa perang Rusia-Ukraina akan berakhir di meja perundingan, bukan di medan perang.
Hal itu disampaikan Cavusoglu di tengah pihaknya yang sedang berupaya menengahi penyelesaian konflik di kedua negara itu.
“Dengan satu atau lain cara, perang ini akan berakhir di atas meja. Kami tidak berpikir ini akan berakhir dengan perolehan militer di lapangan. Meski begitu, ada risiko perang yang dapat berlangsung selama beberapa dekade,” kata Cavusoglu seperti dikutip Anadolu Agency, Jum’at (25/11/22).
Terkait pembicaraan damai dua hari yang terpisah antara delegasi Rusia dan Ukraina yang diadakan di Istanbul pada bulan Maret nanti, Cavusoglu mengatakan bahwa kedua negara yang bertikai sangat dekat dengan gencatan senjata.
Dia juga menekankan pentingnya kebijakan keseimbangan Turki dalam perang Rusia-Ukraina.
Kata dia, Presiden Recep Tayyip Erdogan adalah satu-satunya pemimpin di NATO yang dapat bertemu secara setara dengan rekan-rekannya dari Rusia dan Ukraina.
“Menjadi negara NATO bukan berarti kita tidak bisa bertemu dengan Rusia atau negara lain. Keseimbangan ini perlu dijaga dengan baik,” katanya lagi.
Dia menambahkan bahwa Turki adalah pelopor dalam masalah mediasi dalam organisasi seperti PBB, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE), dan Organisasi Kerjasama Islam.
“Pertukaran tahanan antara Rusia dan Ukraina juga diamankan atas prakarsa Presiden Erdogan,” imbuhnya.
Dia menambahkan bahwa Ankara juga memainkan peran memfasilitasi dalam pembicaraan tentang masalah pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia.
Dia mengkritik reaksi dari Uni Eropa, AS, Yunani, dan otoritas Siprus Yunani terhadap pengakuan Republik Turki Siprus Utara (TRNC) sebagai anggota pengamat Organisasi Negara-negara Turki.
“Mereka mengancam negara-negara Turki dan menekan mereka, tetapi mereka melihat bahwa dunia Turki tidak lagi tunduk pada ancaman dan tekanan seperti itu,” jelasnya.
(Red/Sumber)
