Oleh : M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
KONDISI negara ini parah sehingga dalam Pemilu Presiden 2024 partai politik dipaksa untuk berkoalisi demi memenuhi syarat 20 % Threshold. Konfigurasi berjalan unik dan alot. Ada mekanisme saling ancam, saling sandera dan mungkin saling bantai. Demi pencapaian tujuan. Menang dengan segala cara.
Masalah utama yang dihadapi dalam dukungan pada Anies Baswedan oleh ketiga partai politik di atas adalah pertama, apakah Anies Baswedan sendiri akan lolos atau sukses melewati hambatan dan ganjalan serius yang dimainkan rezim Jokowi? Kedua, andai lolos maka mampukan Anies Baswedan dan pendukungnya mengantisipasi kecurangan yang dilakukan oleh lawan politik yang didukung rezim?
Perjuangan berat mendukung figur untuk menang melawan “negara”. Dan untuk dapat memenangkan pertarungan itu harus terbentuk kekuatan “rakyat” sebagai lawan dari “negara”. Anies Baswedan harus mampu menjadi pemimpin rakyat jika ingin menang dalam arti berjuang merebut kekuasaan- “kampf um die macht”.
Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera tentu berupaya untuk solid dalam memperjuangkan Anies Baswedan menjadi Presiden. Apapun yang dilakukan oleh rezim Jokowi untuk menjegal harus dilawan dengan sekuat tenaga. Meyakini bahwa mayoritas rakyat sudah jenuh bahkan muak dengan pemerintahan Jokowi yang telah menghianati demokrasi dan nilai-nilai luhur bangsa. Merampok brutal isi kekayaan negara.
Ketiga partai politik dituntut menjadi “pemimpin” perubahan melalui jalur politik formal. Pemilu adalah ajang untuk merebut kekuasaan. Tentu dalam kompetisi yang berjalan fair atau normal.
Persoalannya adalah ketika kini yang nampak justru mengarah pada proses politik yang tidak normal. Ada penggalangan kekuatan negara untuk menggagalkan misi ketiga partai politik tersebut.
Untuk hal ini maka dibutuhkan strategi berkualifikasi “out of the box”. Rezim Jokowi yang menguasai pemerintahan bersikap politik tidak ubahnya sebagai penjajah. Menjadikan segala perlawanan atau sikap kritis sebagai pemberontakan. Oposisi dianggap musuh. Ini tentu sikap politik berbahaya. Nah, strategi “out of the box” merupakan perlawanan yang seimbang untuk dapat bertarung kokoh dan mengalahkan.
Ketiga partai politik harus berubah menjadi gerakan rakyat untuk perubahan. Lokomotif dari perjuangan untuk masa depan yang lebih baik. Partai Nasdem mewakili semangat kemenangan mengalahkan “orde lama”, PKS “kekuatan Islam” yang dalam proses politik bangsa tidak bisa diabaikan, serta Partai Demokrat yang didirikan oleh “figur TNI” dan pernah sukses menjadi pemenang Pemilu.
Berjuang bersama rakyat bukan hanya sloganistik. Mulai dibuktikan bahwa partai politik itu milik rakyat. Rakyat tertindas yang memberontak melawan kemapanan yang menindas. Ketiga partai harus memimpin “pemberontakan” rakyat untuk membebaskan diri dari penjajahan politik. Penjajahan oligarki yang menginjak-injak demokrasi.
Hayo saatnya Nasdem, PKS dan Demokrat untuk berstrategi “out of the box”. Rezim tengah mencoba untuk memporakporandakan Nasdem, menstigmatisasi buruk PKS dan mengkudeta Demokrat. Bentuk perlawanan atas kejahatan politik itu adalah “pemberontakan” bersama rakyat. Pemilu yang menjadi habitat partai politik tidak perlu dikhawatirkan. Ketika rakyat sudah bersama, maka wakil-wakil rakyat akan sukses duduk dan dipercaya.
Saatnya rakyat merasakan bahwa partai politik adalah bagian darinya setelah lama hanya diperalat oleh kepentingannya. Melalui ritual lima tahunan.
Nasdem, PKS dan Demokrat berkesempatan untuk memulai. Momennya adalah “berontak” untuk perubahan.
Kekuatan rakyat dalam makna konstruktif dan konstitusional bisa dibangun dalam kebersamaan rakyat dengan partai politik.
Gelombang baru untuk Indonesia merdeka dan berwibawa.
Nasdem, PKS dan Demokrat harus mampu untuk itu.