AIR ASIA YANG PENUH DRAMA

Uncategorized963 Views

Oleh : Ana Mustamin

Kemarin saya baru pulang ke Jakarta, setelah 4 hari di Johor, Malaysia; dalam rangka menghadiri pengajian dan undangan buka puasa dari kolega bisnis. Kami bertiga, saya, dirut saya, dan deputi kami.
.
Kami menumpang low-cost carrier airlnes (LCC), Air Asia, karena tidak ada pilihan lain. Ini penerbangan satu-satunya dari Johor ke Jakarta pada 17 April kemarin. Penerbangan yang penuh drama, saya kira. Ribet dan sangat tidak menyenangkan. Next, mungkin lebih enak pulang ke Jakarta melalui Changi Airport Singapore, banyak alternatif pesawat.

Kami check out dari hotel sebelum pukul 12-an, dan memutuskan langsung ke Senai Airport, meski pesawat kami baru akan terbang pada pukul 18.35 waktu setempat. Pertimbangannya adalah kami puasa, ingin menghemat energi, dan sudah puas 4 hari mengitari Johor. Tokh di bandara banyak hal yang bisa dilihat. Apalagi saya baru sekali ini melintas di Senai Airport. Tapi semua harapan itu pupus.

Bermula dari gagalnya saya online check in 1 tiket dari 3 tiket yang saya proses. 2 lainnya berhasil mendapatkan boarding pass. 1 tiket disarankan meminta bantuan ke kaunter. Rupanya ada perbedaan 1 huruf antara nama di tiket dengan di passport, sehingga ditolak sistem. Saya langsung menujur kaunter check-in. Tapi ternyata tidak dilayani petugas Air Asia. Alasannya, check ini untuk pesawat ke Jakarta baru dibuka pada pukul 15.35 waktu setempat. Meski gagal paham mengapa harus menunggu selama itu (karena saya merasa era sekarang semuanya sudah komputerisasi dan online), kami akhirnya menunggu 2 jam lebih tanpa bisa berbuat apa-apa.

Pukul 15.30, saya sudah antri lagi di depan meja check-in. Sempat saya tanyakan mengapa mereka tidak mau melayani lebih cepat agar kami bisa beristirahat di ruang tunggu lebih awal (karena kaunter sempat tutup). Mereka bilang, gak ada guna, karena tokh petugas imigresen juga belum buka). What??? Ini bandara internasional lho.

Selewat pukul15.35, saya akhirnya mendapatkan boarding pas yg lengkap. Kami langsung bergerak ke pintu masuk penerbangan internasional. Tapi ternyata kami belum bisa masuk juga, karena petugas imigrasi belum siap. Akhirnya, kami ke surau, untuk sholat ashar.

Setelah sholat, kami balik lagi ke pintu masuk. Kali ini udah buka. Tapi olala, tas bawaan kami harus ditimbang. Satu orang tidak boleh lebih dari 7 kg. Saya bilang, oke, berarti jatah kami 21 kilo, karena kami ber-3. Dan dijawab petugas perempuan, tidak boleh. Harus satu-satu. Saya menukas, mengapa satu-satu? Kami bertiga! Dan tetap ia keukeh, satu orang 7 kg. Tas saya akhirnya ditimbang, 9 kg! Sang petugas langsung merepet. Ini harus masuk bagasi! Saya bingung. Bagaimana koper sekecil itu harus masuk bagasi? Ini adalah ukuran koper terkecil dari segala jenis koper yang diproduksi. Saat berangkat dari Jakarta, saya juga membawa koper ini dengan penerbangan yang sama, dan tidak ada penambahan isi selama di Johor. Tapi semua bisa masuk kabin tanpa timbangan. Tokh memang kopernya berukuran lebih kecil dari ukuran tas kabin kok.

Karena malas berdebat, dan waktu semakin mepet, saya menggerek koper saya kembali ke mesin check-in untuk mencetak stiker bagasi. Kembali kami bertiga harus mengulang proses awal: memasukkan bawaan ke x-ray, antri di depan kaunter check-in untuk mendrop bagasi, dengan perasaan was-was. Waktu semakin pendek.

Tiba di deretan terdepan, petugas kembali menolak bawaan kami, karena ternyata gak ada tempelan stiker security checked. Gila! Ternyata harus distempel stiker, dan kenapa petugas x-ray tidak melakukan itu? Padahal tas kami sudah 2 kali melewati detektor?

Saya panik. Waktu makin sempit. Kami kembali harus memasukkan tas ke detektor agar bisa mendapatkan tempelan stiker. Saya marah ke petugas, karena mereka lalai. Tapi dengan tenangnya, ia menjawab, ia pikir tidak perlu stiker karena gak masuk bagasi.

Untuk ketiga kalinya, kami ngantri lagi untuk mendrop tas ke bagasi. Rasa marah sudah memuncak, karena saya merasa datang lebih awal ke bandara, agar tidak mengalami rasa waswas ditinggal pesawat. Tapi apa yang terjadi, bagasi kami kembali ditolak. Oh my God. Ini pesawat LCC (seumur-umur kami baru menumpang Air Asia). Petugas dengan tidak sopannya kembali merepet, “Ini bagasi Air Asia tidak percuma. Kamu harus beli bagasi!” Saya tidak nyadar kalau tiket kami (yang kebetulan dibeli orang lain), tidak memiliki fasilitas bagasi!

Untuk ke-4 kalinya kami kembali antri untuk membeli bagasi. Rasanya kepala sudah penuh umpatan, tapi gak tau harus marah pada siapa. Pesawat sudah memanggil, dan kami masih mengantri untuk membeli bagasi. Sementara petugas di depan sana masih bersikap santai dan ketawa-ketawa ke temannya saat melayani pengantri.

Ketika kembali ke antrian masuk penerbangan internasional, calon penumpang sudah mengular. Tidak ada lagi waktu bagi petugas untuk menimbang bagasi. Mereka hanya melakukan pengecekan dokumen. Koper-koper dengan ukuran yang jauh di atas ukuran koper kami melenggang masuk. Padahal kami membayar 264 ringgit atau setara dengan 900 ribu rupiah lebih untuk 3 bagasi! Konyol dan bodoh!!! Kami yang sudah melanglang banyak tempat dengan aneka penerbangan dan puluhan bandara – nasional dan internasional, bisa ‘masuk perangkap’ petugas Air Asia.

Tapi tidak ada waktu untuk berdebat. Taruhannya ketinggalan pesawat. Di depan antrian petugas imigrasi, kami sudah meminta keistimewaan dengan mengacungkan passport dan menyebut tujuan, meminta didahulukan. Pesawat sudah boarding. Antrian menyingkir, dan saya sudah berdiri di depan petugas imigrasi. Sang petugas yang berwajah tampan itu masih sempat bertanya, “Kenapa terlambat?” Dan, rasanya pengen nimpuk orang aja. Sayang ini di negara orang…

Kami masuk ke badan pesawat dengan kelelahan luar biasa, seperti habis lari maraton. Apalagi dalam kondisi puasa. Saya mencoba menghibur diri bahwa ini ujian. Apalagi selama ini saya terbang selalu dalam kondisi nyaman. Ketika masih di BOD perusahaan dulu, segala tetek-bangek penerbangan saya diurus bagian protokol, termasuk bagasi. Saya tinggal melenggang membawa badan.

Tapi bersikap ikhlas itu susah banget ketika mengingat harga bagasi yang 900 juta itu. Rasanya ini modus. Dan saya merasa tiba-tiba menjadi bodoh sekali. Apalagi di belakang antrian saya tadi ada ibu-ibu yg hampir menangis menceritakan bagaimana ia harus membayar bagasi yang tidak murah dengan berat timbangan yang ia ragukan, padahal ia mengumpulkan uang susah payah dengan bekerja di Malaysia. Jiwa ini cabik. Miris dan sedih.

Karena itu, saya hanya ingin menyampaikan tips ke teman-teman yang mungkin suatu saat akan terbang ke negeri jiran:

– Berpikirlah 2 kali untuk memutuskan menggunakan maskapai Air Asia;
– Kalau tokh harus menggunakan, jangan bodoh seperti kami yang harus membayar bagasi mahal dan membiarkan fasilitas kabin kami tidak digunakan sepenuhnya.
– Lebih baik membeli tiket dengan fasilitas bagasi untuk jaga-jaga. Harganya jauh lebih murah ketimbang membeli bagasi di kaunter check-in.
– Jangan datang ke bandara Senai lebih awal, percuma. Petugas check-in dan imigrasi tidak akan melayani jika pesawat kita masih lama untuk terbang. Jangan bermimpi bisa duduk di ruang tunggu lama-lama, apalagi selfie-selfiean…
– Saat di pintu masuk penerbangan, mengantrilah saat penumpang lain sudah mengantri banyak. Karena saat itu mereka tidak lagi menimbang bawaan Anda. Modus memasukkan bawaan kabin ke bagasi terjadi, ketika antrian masih sepi dan kosong.
– Belajarlah menahan diri untuk marah, segondok-gondoknya Anda. Karena ini di negara orang, bisa lebih runyam urusannya jika harus berurusan dengan aparat setempat (ini nasihat berulang-ulang saya afirmasi di kepala saya, meski gak bisa untuk tidak ngedumel juga).

Selamat berpuasa di hari-hari akhir, guys. Semoga puasa saya kemarin tetap diganjar pahala. Maafkan hamba-Mu, ya Allah. Juga untuk doa saya yang jelek: semoga tidak pernah lagi menumpang Air Asia. Aamiinnn…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *