Jakarta, PBSN – Kita sedang menyaksikan salah satu paradoks sosial-ekonomi paling mencolok dalam sejarah kontemporer Indonesia: kesenjangan yang terus melebar antara si kaya dan si miskin. Dalam lanskap ekonomi yang secara makro menunjukkan pertumbuhan, terjadi ironi yang mendalam rakyat kecil justru semakin terpinggirkan dari roda kemajuan. Mereka bukan hanya hidup dalam kondisi serba kekurangan, tetapi terjebak dalam ketidakpastian yang sistemik. Bahkan tanpa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), banyak yang telah hidup di bawah garis kemiskinan. Ketika pekerjaan akhirnya benar-benar hilang, mereka tidak sekadar jatuh, melainkan tenggelam dalam pusaran kemiskinan struktural.
Saya sendiri menyaksikan beberapa rekan yang menjadi korban PHK. Mereka kini tak memiliki pekerjaan tetap, dan hidup dalam kondisi yang kian hari kian sulit. Sebagian dari mereka sudah bergumul dengan kemiskinan bahkan sebelum badai ekonomi ini datang. Kini, dengan tekanan ekonomi yang meningkat, kenaikan harga kebutuhan pokok, beban utang, serta akses pekerjaan yang semakin sempit mereka seperti kehilangan pegangan. Hidup tidak hanya sulit, tapi nyaris tanpa harapan. Ironisnya, di sisi lain, banyak individu yang sejak awal berada di puncak piramida ekonomi justru tampak semakin makmur. Badai ekonomi seolah tidak menyentuh mereka, bahkan memberi celah untuk menambah kekayaan. Mereka makin tajir melintir, seolah hidup dalam dimensi yang tak terpengaruh krisis.
Kelompok elit ekonomi ini membeli rumah bukan untuk ditinggali, tetapi sebagai koleksi dan investasi. Mobil mewah hadir bukan karena kebutuhan transportasi, tetapi demi gengsi dan pengakuan sosial. Kekayaan mereka terus tumbuh bukan hanya karena kerja keras, melainkan karena sistem yang memudahkan akumulasi kapital di lingkaran kekuasaan dan koneksi. Uang berputar dalam sirkuit tertutup yang tidak pernah menyentuh dasar masyarakat, menjadikan ketimpangan semakin sulit dijembatani.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: ke mana sesungguhnya aliran kekayaan negeri ini? Jika ekonomi benar-benar tumbuh, mengapa jurang antara si kaya dan si miskin makin menganga? Mungkinkah kita sedang menyaksikan perputaran uang yang hanya menjadi tarian elitis di atas meja-meja kekuasaan, sementara rakyat hanya jadi penonton yang dibayar dengan janji-janji kesejahteraan yang tak kunjung terwujud.
Lebih menyedihkan lagi, praktik korupsi masih merajalela. Mereka yang mencuri uang negara tak hanya lolos dari rasa malu, tapi juga dari hukuman yang setimpal. Celah hukum yang dibiarkan menganga membuat mereka leluasa menebalkan dompet, bukan karena produktivitas, tapi karena manipulasi sistemik. Rakyat pun makin apatis, menyaksikan berita korupsi seperti menonton sinetron bersambung dengan plot yang selalu bisa ditebak.
Kesenjangan ini bukan semata persoalan ekonomi. Ia adalah potret ketidakadilan struktural yang dibiarkan tumbuh dan mengakar. Ketika kekayaan terkonsentrasi hanya di segelintir tangan dan akses terhadap hak-hak dasar makin sempit, maka yang kita bangun bukan peradaban, tapi tembok antara yang kenyang dan yang lapar.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Yang kita kekurangan adalah keberpihakan. Dalam negara yang katanya berdaulat, masih terlalu banyak yang hidup dalam derita sambil menyaksikan elitnya berpesta.
Oleh : Ririe Aiko