Jakarta – Pengamat politik ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, mendukung Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang, membuat peta jalan kembali kepada UUD 1945 naskah asli.
Agar upaya kembali kepada UUD 1945 naskah asli dapat berjalan mulus, Ichsanuddin mendorong agar Undang-Undang yang merupakan jantung kapitalisme dihancurkan terlebih dahulu.
“UU jantung kapitalisme harus dihancurkan dulu. Kalau ini rontok, maka kapitalisme itu juga rontok,” kata Ichsanuddin saat menjadi narasumber pada Executive Brief ‘Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat: Kembali ke UUD 1945 Naskah Asli, Khususnya Pasal 33 dan Penjelasannya’, di Ruang Rapat Pimpinan DPD RI lantai 8 Gedung Nusantara III Kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senin (5/9/22).
“UU yang dibuat rezim Reformasi adalah UU yang menyerahkan korporasi kita kepada kaum kapitalisme. UU yang dibuat lebih mengedepankan asas manfaat daripada asas kepemilikan. Ini adalah pemikiran neoliberalisme. Lebih mengedepankan revenue oriented ketimbang mengelola sendiri aset kita,” papar Ichsanuddin.
Kuncinya adalah, lanjut dia, perekonomian disusun atas usaha bersama. Disusun artinya bukan diserahkan kepada mekanisme pasar. Sedangkan usaha bersama harus ada kolaborasi dari tiga pilar yakni BUMN, koperasi dan korporasi. Kita mengakui kompetisi, sekaligus juga mengakui kerja sama.
Berangkat dari pemahaman tersebut, Ichsanuddin menyebut sangat tak layak jika pengelolaan hajat hidup orang banyak diserahkan kepada pasar.
Dijelaskannya, Ekonomi Pancasila atau ekonomi konstitusi tak bisa berjalan jika penyelenggara negaranya berbasiskan semangat komprador dan pengkhianat.
“Dalam istilah saya rezim cinta tanpa setia,” katanya.
Upaya melakukan restrukturisasi ekonomi nasional harus dengan cara melakukan pemisahan mana public goods dan mana commercial goods dan mana yang quasi.
“Perekonomian itu, narasinya dengan tubuh close-open good economy. Namun yang terjadi sampai saat ini, ekonomi bugil, sehingga tidak terjadi yang namanya perbaikan ekonomi,” tegas Ichsanuddin.
Jika ditinjau dari kiblat ekonomi, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dsn UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kiblat ekonomi Indonesia mengarah kepada konsensus Washington.
“Korporasi swasta (domestik dan asing) adalah pengarah dan pelaksana perekonomian, sedangkan pemerintah adalah regulator,” tutur Ichsanuddin.
Persoalan berikutnya adalah terbatasnya jenis barang dan jasa publik, nilai tukar mengambang bebas, negara lebih penting mengutamakan ketahanan ekonomi daripada kedaulatan ekonomi dan pasar dijadikan pengambilan keputusan.
“Pasar diminta jadi sumber penyelesaian kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Pertanyaannya, apakah pasar yang akan menakar harkat dan martabat manusia? Apakah pasar mampu menjamin kelangsungan hidup dan masa depan?” tanya Ichsanuddin.
Di sisi lain, Ichsanuddin menjabarkan jika total aset lembaga keuangan yang diprediksinya pada tahun 2016 mencapai Rp7.800 triliun. Sedangkan 12 orang terkaya di Indonesia menguasai keuangan sebesar 44,65 persen.
Dia mengaku sejak tahun 2016 telah memprediksi problematika yang sekarang terjadi.
“Enam tahun berlalu, masalahnya tak berubah, justru bertambah. Data per 22 Agustus, pinjaman asing Indonesia sebesar 68,95 persen. Saya ragu tahun 2030 dan 2045 perjalanan kita benar. Tidak mungkin Indonesia bisa bertahan kalau model pengelolaannya demikian,” tandasnya.
(Red)