Oleh : La Ode Diada Nebansi
Jurnalis Senior
Sematan gelar La Ode kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo serasa biasa. Non resiko. Kalaupun beresiko, paling banter resiko itu hanya akan berpengaruh pada kehormatan dan kehinaan. Kenapa? Karena seseorang yang menyandang La Ode sejatinya sumber keteladanan ada pada dia. La Ode tak boleh bohong. Kalau dia bohong maka cemoohannya begini: Kok ada La Ode bohong?. Kalau La Ode tak jujur, maka cemoohannya: Kok La Ode bertindak tak jujur?. Dan, seterusnya. Artinya, menyandang gelar La Ode sesungguhnya anda telah menghijabi diri. Mengerjakan segala kebaikan dan menghindari segala keburukan. La Ode yang tampil tanpa keteladanan, hanya akan beresiko pada diri dan keluarganya, tidak untuk gerbongnya.
Yang berat dan beresiko adalah pengangkatan La Ode Joko Widodo sebagai Lakina Bhawaangi Yi Nusantara. Jika tindakannya bertentangan dengan sumpah, maka resiko yang didapat bukan saja pada diri dan keluarga tapi juga gerbong dengan segala ikutannya.
Saya tidak tahu, apa sumpah yang dilontarkan saat Jokowi dinobatkan sebagai La Ode dan diangkat sebagai Lakina Bhawaangi Yi Nusantara di Keraton Buton. Tapi kalau ke-La Ode-an Jokowi dinobatkan di Muna dan jabatan Lakina diangkat di Muna, maka sumpahnya kurang lebih begini:
Aitu Fetingke La Ode Joko Widodo (Sekarang, Dengarkan Wahai La Ode Joko Widodo) Abhatatalaha Angkomo Ini (Saatnya Saya Akan Mengucap Sumpah Untukmu).
Foleho! Noposalo Aporo, Noposalo Gelura. (Pada awalnya! Awan Hitam bercampur Petir) Aitu Nolentemo Nebhalaghoondo Taghindo Sara’ (Sekarang Telah Lahir Figur Pemimpin Yang Diinginkan Dewan Adat)
Aitu Bhaindo Noleleumo Kamba, Notiwosemo ne Hintu La Ode Joko Widodo (Kembang Mereka Telah Layu dan Kembang itu Mekar Kepadamu La Ode Joko Widodo) Nolewamo Fato Walae Wutomu (Kembang itu Merambat di Empat Penjuru Tubuhmu)
Omooliemo bhe Paise, Ihintumo La Ode Joko Widodo (Sanggup Atau Tidak, Engkaulah La Ode Joko Widodo)
Fekatangkae Bhasarapumua, Mengkoraghoo ne Dempa, Pasandeghoo ne Bhamba. (Perkuat dan kokohkanlah imanmu, duduklah di atas Paku (Batu) Bumi dan Bersandarlah pada Dinding Gua)
Namoni Wite so Korondomu, Nasumampu Lani so Dhao-dhaongamu. (Bila ditimpa kesulitan jangan putus asa. Bila Mencapai Keberhasilan Jangan Sombong. Semua itu Anggap Sebagai Hiasan)
Kosanagauane Wite ini, Koana Ghowaane. (Jangan khianati negerimu, jangan kolusi dan jangan nepotisme).
Ane Naodaiane Rabumu Witemu Inia, Ondumailesae. (Bila engkau bertindak buruk terhadap negerimu ini, Bila Negerimu engkau terlantarkan)
Omefofoniane Matano Oe, Opokabhela-bhelaane bhe Daga Witemu Inia. (Bila engkau menyalah gunakan jabatanmu. Bila engkau menjual negerimu ini kepada orang asing).
Bhahi Tanoferaambaliane Matamu, Bhahi Tanoferaambaliane Pongkemu Wite Inia. (Sekiranya engkau memandang (sesuatu) dengan mata yang mendua. Sekiranya engkau mendengar (sesuatu) dengan telinga yang mendua) Natumuntu Umurumu, Nalumaintobhe Sodamu. Natumuntu Sodamu, Nalumaintobhe Umurumu. (Maka, bila umurmu panjang, akan terkutuk/binasa jabatanmu. Sebaliknya, apabila jabatanmu panjang, akan terkutuk/binasa umurmu)
Sudumpae Laintobhe (Terkutuk dan Binasalah Engkau)
Omorepu, Omosoka, Omeghabu-ghabu, Omeghefi-ghefi (Engkau akan mampus dan mati mengerikan, laksana tumpukan abu dapur dan tebaran debu)
Koe Tuntua, Koe Lagia, Dadimu pa Naosoo ne Kanduluamu (Tidak akan hidup sempurna dan tidak berkembang keturunanmu, hidupmu tidak akan berakhir di bantal tidurmu).
Sumpah itu adalah sumpah yang diucapkan pada saat pelantikan Raja di Muna. Untuk pelantikan Raja atau Lakina di Buton, sepertinya tak jauh-jauh isi redaksinya. Conten sumpah pelantikan Raja/Lakina di Muna dan Buton boleh dikata setali tiga wang. Kan, banyak Raja Muna yang menjadi Sultan Buton.
Nah, dari redaksi sumpah tersebut, sepertinya, rakyat Muna dan Buton begitu sangat percaya, tunduk dan patuh kepada pemimpinnya.
Dan, saya masih menyaksikan ketika orang tua saya dikunjungi Bhalu (permaisuri “Raja”/Djesi Kecamatan Lawa (saat ini kira-kira Isteri Camat) di Muna ketika Permaisuri memberi salam, ibu saya menjawab dengan kata: Waompu. Jawaban ini diprotes oleh Permaisuri (Bhalu) karena menurut Permaisuri, ibu saya tidak tepat menjawab salam dengan kata ”Waompu” karena sama-sama menyandang gelar Wa Ode. Walau begitu, jawaban ibu saya memberi pengertian bahwa, rakyat begitu tunduk pada pemimpinnya.
Bagaimana sikap rakyat dengan pemimpinnya saat ini. Jauuuh. Jauh. Saya pernah saksikan Bupati yang berkunjung di desa, salah seorang warga desa malah memilih memperbaiki tungku dapurnya yang saat itu ia memasak sulingan Arak. “Nando nokodoho Pemilu Bapaaa (Ndak Urus. Masih jauh Pemilu Pak)
Artinya bahwa, gelar La Ode dan penobatan Presiden Joko Widodo sebagai Lakina Bhawaangi Yi Nusantara (Raja Nusantara dari Kawasan Barat), tak menutup kemungkinan akan memberi warna terutama dari wilayah atau ruang-ruang transedental. Sebab apa? Sebab Jokowi menerima gelar dan penobatan itu tidak dalam kebisuan tanpa kata-kata. Ada kata-kata di sana. Tampatnya pun di Masjid Keraton Buton. Masjid yang dibangun oleh orang yang tingkat ilmu agamanya dahsyat. Ini fakta. Mau bukti? Silahkan berkunjung di Masjid tua Lohia Kabupaten Muna lalu saksikan Batu seukuran mobil Hummer yang di atasnya rata. Di bagian atas batu itu, terdapat bekas (maqom) telapak kaki, bekas telapak tangan, bekas telapak jidat, bekas telapak lutut, seperti bekas orang sembahyang di atas batu. Menggelengkan kepala, tapi mau diapa, itu fakta. Menggelengkan karena tidak mungkin sujud di atas batu lalu batunya “taturun”. Saya bayangkan diriku sujud di atas sajadah, tapi sajadahnya sampai sekarang masih kelihatan baru.
Ya. Itulah. Silahkan anggap biasa-biasa saja ritual itu, tapi tolong, tempat ritualnya jangan dianggap biasa-biasa saja.