Oleh : Muslim Arbi
Direktur Gerakan Perubahan dan Koordinator Indonesia Bersatu
Suatu hari saya naik kereta komuter line (KRL). Ada deretan beberapa box sampah. Di situ tertulis Toxic. Saya lalu bergumam. Rupanya Toxic itu sampah. Sampah beracun pula.
Belakang ini: kata Toxic makin ramai dibicarakan. Apalagi ada saran dari seorang pejabat agar kabinet yang akan datang tidak diisi oleh orang-orang Toxic. Maksudnya orang-orang sampah?
Toxic, sampah beracun? Kalau dalam konteks demokrasi, hukum dan ham. Toxic bisa diartikan: orang-orang yang pelanggar hukum, ham dan anti demokrasi dan perusak kedaulatan rakyat.
Nah, kalau pelanggar Konstitusi dan ham bisa dikatakan Toxic konstitusi dan ham. Kalau pelanggar hukum dan Demokrasi. Ya. Toxic Hukum dan demokrasi.
Kalau pelanggar kedaulatan rakyat. Ya. Toxic Kedaulatan Rakyat.
Kalau KKN dan Nepotisme bisa di katakan itu Toxic juga. Karena itu sampah beracun yang merusakkan sendi-sendi berbangsa dan negara.
Kalau hasil Pilpres yang sarat dengan muatan pelanggan hukum, konstitusi, ham, moral dan etika apa tidak bisa dikatakan Toxic juga bukan?
Lah kalau begitu MK memutuskan pemenang Pilpres yang abai atas hukum, ham, moral, etika, konsitusi dan Kedaulatan Rakyat, putusan nya bersifat Toxic juga bukan?
Jadi yang Toxic itu siapa? Jadi siapa yang toxic dan tidak Toxic semakin jelas. Sesungguhnya yang sampah yang merusak negeri ini siapa?
Jadi seharusnya Toxic perusak negeri itu yang harus enyah dari bumi ini. Biar bumi ini disemaikan generasi yang anti Toxic yang sebenarnya.
Agar negeri ini tidak lagi tumbuh, berkembang biak dan subur Toxic baru yang makin lama menjadi kanker ganas yang menggerogoti.
Save our nation Toxic kekuasaan Rezim yang merusak.