PROYEK IKN: NEGARA DIJADIKAN LAHAN BISNIS, RAKYAT DIPAKSA JADI CUSTOMER OLIGARKI

Opini1343 Views

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat

(Catatan Pengantar Ketiga DEKLARASI BERSAMA ADVOKAT, ULAMA & TOKOH NASIONAL, Sabtu 15 Juni 2024)

Penulis merasa bangga, bahagia sekaligus haru. Karena agenda Deklarasi yang akan dilaksanakan pada Sabtu (15/6) mendapat respons positif dan antusias dari banyak pihak. Sejumlah pesan WA masuk, memberikan dukungan dan nama, agar terlibat sebagai pihak yang menyetujui isi deklarasi untuk menuntut pembatalan proyek IKN dan mempertahankan status DKI Jakarta.

Bahkan, ada aktivis emak-emak yang ingin hadir dan menyumbang makanan dalam acara. Hanya saja, karena undangan hadir di agenda Deklarasi terbatas, peserta khusus Ikhwan dan dilaksanakan malam (pukul 19.30 WIB), sehingga dengan berat hati dan penuh permohonan maaf, penulis tidak dapat meluluskannya.

Jumlah nama yang terlibat, hingga Jum’at pagi ini (14/6) sudah mencapai angka 245. Masih ada waktu satu hari, sebelum besok agenda Deklarasi dilaksanakan, insyaAllah masih akan terus bertambah.

Angka 245 dibandingkan 270 juta jiwa rakyat Indonesia, memang tidak signifikan. Tapi dalam konteks dakwah, suara kebenaran -meski jumlahnya sedikit- akan mampu mengalahkan suara kebatilan -meski jumlahnya bak buih dilautan-.

Lagipula, rakyat Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa, tidak terlibat dalam deklarasi bukan berarti setuju proyek IKN. Mereka, umumnya juga mengeluh atas hak mereka yang terabaikan, karena penguasa lebih melayani kepentingan oligarki daripada melayani kepentingan rakyat.

Karena itu, boleh jadi 270 juta rakyat Indonesia lebih terwakili suaranya oleh 245 orang yang menyatakan deklarasi menuntut pembatalan proyek IKN, ketimbang 575 anggota DPR yang bungkam terhadap suara aspirasi rakyat. Dalam isu IKN ini, DPR ambigu. Mengesahkan UU IKN, tapi ogah ngantor di IKN yang baru.

Semestinya, DPR juga menolak UU IKN dengan tidak mengesahkannya. Tapi apa daya, DPR saat ini bukan lagi wakil rakyat, melainkan sudah menjadi kepanjangan tangan oligarki.

Konsep bernegara yang ideal, semestinya membahagiakan rakyat. Bukan sebaliknya, kehadiran negara malah menyengsarakan rakyat.

Negara hadir, dalam rangka melayani dan memenuhi hajat rakyat, baik yang bersifat asasi juga mengupayakan hajat yang bersifat keutamaan. Sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, adalah deretan kebutuhan asasi yang menjadi hak rakyat, kewajiban negara, yang harus dilayani dengan baik.

Namun, hari ini negara telah menjadi pelayan oligarki, memenuhi apapun hajat oligarki. Sementara rakyat, hanya dijadikan customer yang harus membayar harga atas barang dan jasa yang diproduksi oligarki melalui tangan kekuasaan.

Proyek IKN, sejatinya adalah proyek oligarki yang meminjam tangan negara. Negara, memberikan lapak (lahan) untuk bisnis oligarki di IKN, oligarki memproduksi infrastruktur dan layanan lainnya, sementara rakyat dipaksa membiayai melalui pajak. APBN menjadi mediatornya.

Proyek IKN ini tidak ada kaitannya dengan pemenuhan hajat rakyat, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Proyek IKN hanya menciptakan Demand (permintaan pasar) bagi oligarki, agar mereka mensuplai infrasturktur yang akan dibayar oleh rakyat melalui pajak dalam APBN.

Karena itu, aneh jika ada rakyat yang setuju dengan proyek IKN. Semestinya, uang pajak dari APBN untuk memenuhi hajat rakyat, bukan melayani bisnis oligarki.

Dalam proyek IKN, yang untung bukan rakyat. Melainkan Aguan Bos Agung Sedayu, juga anggota konsorsium IKN lainnya, seperti Astra, Sinar Mas, Group Mulia, Ace Hardware (Kawan Lama), Alfamart, Adaro Boy Thohir, Pulau Intan, dan yang terlibat dalam konsorsium pembangunan IKN. Mereka inilah, yang untung beliung dari proyek IKN. Sementara Jokowi, Luhut dan para penguasa lainnya, yang mendapatkan berkah rentenya.

Kurang argumen apa lagi untuk menyuarakan tuntutan pembatalan proyek IKN? Mau, dijajah lebih lama lagi oleh bangsa sendiri? Oleh antek kapitalis? Oleh asing dan aseng?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *