Oleh : Faizal Assegaf
Kritikus
Hampir dua jam Megawati berpidato, isinya curhat, banyolan dan berteriak mirip knalpot vespa. Tak beri faedah bagi rakyat. Hanya celoteh dan narasi penuh kebohongan saja.
Tapi lucunya, sebagian netizen dan jejaring pers dibuat terjebak seolah Mega dan Jokowi pecah kongsi. Faktanya tidak. Justru kedua aktor makin lihai mengkelabui rakyat untuk mengusung Pramono Anung di Pilgub DKI Jakarta.
Pramono adalah kader inti PDIP yang ditugaskan di lingkar kekuasaan Jokowi. Tak lain, demi menjaga hubungan yang kuat antara petugas partai dan misi politik PDIP. Peran yang sangat strategis itu berlangsung hampir 10 tahun.
Jelang lengser, Pramono tampil memperjelas kemesraan Jokowi dan Megawati. Melalui momen Pilkada, Pramono mengatakan Jokowi sangat happy atas keputusan Mega dan PDIP mengusung dirinya sebagai Cagub.
Ungkapan itu makin meyakinkan rakyat bahwa antara Mega dan Jokowi di balik layar sangat akur. Hanya di ruang publik gemar menyajikan aneka drama politik tipu-tipu. Ibarat tikus dan gorong-gorong, saling melengkapi.
Seluruh elemen mahasiswa yang kini bergerak dalam aksi protes, tentu tersadarkan. Ternyata dinasti Jokowi dan dinasti Megawati sama saja. Asbab yang memicu daya rusak atas tatanan bernegara dan kehidupan rakyat banyak.
Berulang kali, sebagian elemen rakyat berupaya menarik PDIP dan Megawati ke jalan yang benar. Menjauh dari kekuasaan Jokowi dan berpihak pada kepentingan rakyat. Namun tetap saja bersenyawa dan tak terpisahkan.
Tak heran, Jokowi dan keluarganya mabok kekuasaan serta terlibat dugaan aneka skandal korupsi. Ihwal serupa pun menyeret para elite PDIP dan keluarga inti Megawati. Saling menyandera dan bersandiwara.
Adagium maling teriak maling adalah gambaran perilaku di antara Megawati dan Jokowi. Berpura-pura mununjukan seolah bersitegang, kenyataan satu komplotan. Walhasil, tanpa rasa malu dan brutal melakoni politik tukar guling.
Ratu Banteng dan Raja Jawa, sama saja…!
#PanggilanDarurat #TangkapMulyono