Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS( Political Economy and Policy Studies)
Permintaan pemberhentian presiden Jokowi dari jabatannya sudah bergaung sejak lama. Jauh sebelum gonjang-ganjing pemilu dan pilpres 2024. Permintaan pemakzulan Jokowi disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Termasuk mahasiswa. Termasuk purnawirawan dan tokoh nasional, yang kemudian tergabung di dalam “Petisi 100”, yang secara formal sudah menyampaikan aspirasi kepada DPR dan MPR untuk memakzulkan Jokowi, disertai alasan-alasan konstitusional.
Petisi 100 kemudian diterima oleh perwakilan MPR dari unsur DPD (Dewan Perwakilan Daerah) pada Juli 2023. Dalam kesempatan itu, Petisi 100 menjelaskan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang sudah dilakukan oleh Jokowi sehingga sudah bisa dan sudah pantas dimakzulkan.
Pertemuan Petisi 100 dengan Menko Polhukam Mahfud MD (9/1/24) hanya salah satu saluran aspirasi saja. Dan ini bukan yang pertama kali Petisi 100 menyampaikan aspirasi pemakzulan Jokowi. Dan ini tidak ada urusan dengan pemilu dan pilpres. Ini masalah penyelamatan bangsa dan negara dari kerusakan lebih dalam, dari tangan pelanggar konstitusi dan pengkhianat negara.
Suara Petisi 100 semakin bergema. Pemerintah dan pendukungnya semakin terpojok, karena dugaan pelanggaran konstitusi semakin nyata.
Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara, akhirnya bersuara. Yusril mengatakan, permintaan Petisi 100 untuk memakzulkan Jokowi inkonstitusional. Menurut Yusril, presiden hanya bisa dimakzulkan kalau melanggar Pasal 7B UUD 1945. Yaitu, melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden.
Yusril berpendapat, tanpa menunjukkan pelanggaran pasal 7B UUD 1945 secara spesifik, maka pemakzulan adalah langkah inkonstitusional.
Pendapat Yusril di atas tidak bisa lagi disebut sebagai pendapat ahli hukum tata negara.
Pertama, Yusril adalah partisan Gibran-Jokowi, menyandang Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. Karena itu, pendapatnya menjadi bias.
Kedua, Yusril gegabah mengatakan tuntutan pemakzulan Jokowi yang disampaikan Petisi 100 adalah inkonstitusional, tanpa tahu latar belakang tuntutan dari Petisi 100.
Sebaliknya, menurut pernyataan dan pendapat Yusril tersebut, pemakzulan Jokowi adalah konstitusional kalau Petisi 100 dapat menunjukkan secara spesifik dugaan pelanggaran Jokowi atas Pasal 7B UUD 1945.
Pernyataan Yusril tersebut akan semakin memperkuat bahwa proses pemakzulan Jokowi adalah konstitusional. Karena Petisi 100 dalam dalilnya sudah menunjukkan secara spesifik dugaan pelanggaran-pelanggaran Jokowi seperti dimaksud Pasal 7B UUD 1945.
Selain Yusril, ahli hukum tata negara lainnya yang memberi komentar terkait pemakzulan Jokowi adalah Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Komentar Jimly Asshiddiqie lebih mengecewakan lagi. Jimly berkomentar tanpa mempelajari inti permasalahan. Jimly berkomentar bukan dalam konteks hukum tetapi dipolitisir menjadi konteks pilpres. Jimly sepertinya mengira Petisi 100 adalah bagian dari salah satu kontestan pilpres, sehingga keluar pernyataan “takut kalah”.
Jimly Asshiddiqie salah besar. Perlu dipertegas, Petisi 100 tidak ada hubungannya dengan proses pemilu dan pilpres. Petisi 100 ingin menegakkan konstitusi untuk menyelamatkan bangsa dan negara. Pelanggar konstitusi harus ditindak tegas sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku. Kalau presiden melanggar konstitusi, seperti dimaksud Pasal 7B UUD 1945, maka sesuai perintah konstitusi, presiden wajib diberhentikan alias dimakzulkan.
Berapa lama proses pemakzulan presiden tidak penting, dan tidak menjadi faktor pertimbangan sama sekali untuk proses pemakzulan presiden.
Yang sekarang perlu dibuktikan adalah, apakah benar Jokowi sudah melanggar Pasal 7B UUD 1945, yaitu melakukan pengkhianatan terhadap negara, atau korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, sehingga sudah layak dimakzulkan?
Untuk itu, Petisi 100 siap berdebat dengan Yusril dan Jimly, bahwa Jokowi telah melanggar Pasal 7B UUD 1945. Apakah Yusril dan Jimly siap?